Kambing “Sampai kapan kamu terus-terusan
hidup dalam kemiskinan? Apakah kamu tidak ingin kaya raya seperti yang lain?”
Wedus
“Aku memang miskin dan butuh makan. Tapi aku
tak mau menipu siapa pun?”
Kambing “Wedus, siapa yang menipu siapa? Bukankah
tipu-tipu sudah menjadi kebudayaan kita bersama? Santai saja lah. Kau hanya
perlu mengikuti apa yang selama ini sudah berlangsung. Kamu bisa tetap
berkarya, tapi kamu juga bisa kaya raya.”
Wedus “Saya tidak melarang saudara,
untuk mengambil bagian itu. Tapi jangan ajak aku untuk ikut dalam strategi
kekayaan yang demikian itu. Aku sudah cukup bahagia dengan hidup yang begini.”
Kambing “Hai Wedus Gembel! Kamu ini sudah
miskin tapi kok ngeyel. Memangnya kamu hidup sendiri di bumi ini? Bagaimana dengan
anak istrimu? Biaya sekolah anak-anakmu. Kamu jangan sok suci lah.”
Wedus “Tentu aku punya tanggung jawab
untuk keluargaku. Tapi aku tak mau menjual harga diri dengan cara-cara busuk. Menjual
agama, menjual intelektualitas bodong, atau pun menjual karya demi
kepentingan-kepentingan murahan. Dan aku sama sekali sedang tidak sok suci. Aku
tak perlu sok suci. Untuk apa sok suci jika aku sendiri belum bisa bersuci.”
Kambing “Mempertahankan hidup itu lebih
mulia daripada kepentingan apapun. Membunuh karena lapar tetap bisa dibela,
karena mempertahankan hidup adalah segalanya.”
Wedus “Ya, mempertahankan hidup memang
utama dan mulia. Tapi tak lalu dengan cara menghilangkan kehidupan orang lain. Jika
perlu, aku memilih mati agar orang lain tetap hidup.”
Kambing “Ah, Wedus! Kamu ini sok idealis! Ini
sama sekali tidak haram kok. Mendapat bayaran yang setimpal ketika kita membuat
sesuatu sebagaimana yang diinginkan orang yang membayar kita. Bukankah sah-sah
saja menerima bayaran dari orang yang membayar kita? Apalagi jika bayaran untuk
kita setimpal.”
Wedus “Apapun istilahnya, aku memang
tidak doyan memilih cara hidup demikian. Apakah kamu rela menerima bayaran
setinggi langit demi menulis buku tentang kebusukan gurumu? Kebusukan orangtuamu?
Atau kebaikan dan kemuliaan orang yang telah memperkosa dan membunuh ibumu?”
Kambing “Ya, ini lain, Bung. Ini sesuatu yang
wajar. Apalagi, semua orang melakukan hal yang sama. Menyusun suatu karya demi
bayaran yang setimpal lalu melanjutkan hidup sebagaimana biasa.”
Wedus “Silakan. Itu mungkin tepat buat
saudara. Tapi saya tak bisa mengerti dengan cara demikian.”
Kambing “Bukankah kau telah belajar tauhid? Bukankah
Laa maujuda illa Alla? Kalau memang semuanya adalah Diri-Nya, kenapa pusing
dengan persoalan bayaran yang datang dari mereka yang punya modal dan siap
membayar berapapun untuk karya kita yang mereka inginkan? Bukankah itu artinya
Allah Allah juga?”
Wedus “Benar. Segalanya Allah. Sebagaimana
Malaikat dan Iblis, keduanya dari-Nya. Seperti juga kita, Wedus dan Kambing. Kita
sama-sama Dari-Nya. Tapi, sampai kapan pun Iblis akan tetap berada pada
makomnya. Begitu juga Malaikat. Iblis akan disebut Iblis yang salih selama ia
konsisten menguji hamba Tuhan melalui banyak rintangan. Begitu juga malaikat. Ia
tetap konsisten memberikan inspirasi kebaikan. Nah, aku tak bisa membayangkan
jika Iblis dan Malaikat bertukar fungsi. Justru aku berdiri pada makom yang
begini sebagai bagian dari keutuhanNya, sebagaimana engkau memilih jalanmu,
juga aku hormati sebagai bagian dari keutuhanNya.”
Kambing “Kamu terlalu muter-muter. Pokoknya,
kalau kamu butuh uang, semua sah. Lakukan saja apa yang selama ini sudah
berlangsung. Kau dapat uang, mereka dapat karya, dan masing-masing bahagia.”
Wedus “Jika kamu memilih jalan yang
bureng, lanjutkan yang burengmu itu secara kaffah. Aku sangat mendukung. Jangan
mengambil yang bureng tapi kamu masih juga ngumpet di ketiak majlis-majlis
suci. Kalau mau ikut yang model iblis, jadilah yang total sebagaimana iblis. Jangan
kamu campuri dengan corak malaikat melalui pertobatan dan penyucian diri.”
Kambing “Ah, dasar Wedus!!!”