Syahdan, Rasulullah Hijrah ke Madinah. Bukan kabur, tapi bersiasat. Bukan sekadar bersiasat juga, tapi sedang memberi pelajaran. Dan menarik, hampir setiap nabi (dari Adam, Socrates, Idris, hingga Isa) selalu mengalami persitiwa hijrah. Tapi apa pun model hijrahnya, dipastikan selalu memberi RAHMAT kepada masyarakat di sekitarnya. Lihat pula sejarah para kyai sepuh yang mendirikan pesantren-pesantren dengan membabat hutan dan perkampungan. Selalu memberi RAHMAT dan kesejahteraan bagi masyarakat yang dihijrah(i).
Ini jadi ukuran. Apa dan siapa pun kita, kalau pindah ke suatu tempat, lalu menebar manfaat dan keberkahan bagi masyarakat di sekitarnya (tanpa pandang bulu, agama, ras, golongan, atau bajunya), itu artinya ada nilai baik dari hijrah kita
.
Apa pelajaran hijrah nabi itu? Di antara pelajaran hijarh nabi itu adalah (ini baru di antara lho), NABI membiarkan unta yang ia naiki untuk berhenti kemana ia suka. Dan dimana unta itu berhenti? Tepat, di gubuk reot milik anak yatim piatu. Nabi, selalu beranjang sana, main, dolan, sowan, ke orang-orang miskin. Bukan Cuma ke orang-orang kaya. Karena nabi tak butuh pesangon. Mengapa Pilihan Nabi selalu ke orang miskin? Apakah ini proyek nina bobo? Proyek ngadem-ngademi umat yang miskin untuk bersabar dan nrimo? Tidak! ini pilihan!
Nabi ditawari gunung Uhud jadi Emas: Ogah! Nabi ditawari kerajaan yang agung melebihi Sulaiman: Emoh! Nabi memilih misikin. Untuk soal lapar dia yang pertama, untuk soal kenyang dia yang terakhir. Ingat! Harta benda yang diberikan para sahabat untuknya, tidak digunakan untuk fasilitas dirinya. Tidak. ia gunakan sebesar dan sehabis-habisnya untuk perjuangan Tauhid. Ia tidak memperkaya diri dari keringat para sahabatnya yang bekerja keras sebagai pedagang, petani atau usaha jasa. Untuk kabar tentang bagaimana rasul lapar, jangan tanya lagi. Terlalu banyak kisahnya.
Artinya, ini soal pilihan. Rasul yang penuh damai ini pernah berujar, “Kalau mau mencari aku, carilah di antara orang-orang miskin…” kalau hadis ini dibacakan oleh seorang kyai yang menggunakan jam tangan Rolex, dan baju sutera, rasanya lucu untuk diungkapkan.
WONG:
“Lho tapi, jaman sekarang kalau jadi kyai tidak kaya, tidak akan dihargai apalagi didengar oleh umatnya, kawan!”
DZOLIM:
“Benar, memang benar. Sang Kyai Tidak akan dihargai dan didengarkan. Artinya umat sedang diajari untuk menghormati kekayaan dan mendengar orang kaya.”
WONG:
“Tapi kalau terlalu miskin, siapa yang akan menghormati?”
DZOLIM:
“Ya, ya. Pantas. Dulu banyak yang ikut Nabi dari kalangan budak. Tapi perasaan, yang kaya raya seperti Usman atau Umar juga banyak.”
WONG:
“Ya, itu kan dulu. Sekarang lain.”
DZOLIM:
“Oke, sekarang lain. Tapi bagaimana kamu akan mendekati orang miskin yang bau, dekil, dan kotor itu, sementara bajumu wangi dan mobilmu harus parkir di tempat khusus?”
WONG:
“Alah, kamu saja yang tidak lihat. Aku selalu menyodorkan receh ke para pengemis dan pengamen di lampu merah. Itu sudah sangat cukup. Dan aku memberinya kadang bukan receh. Tapi ratusan ribu.”
DZOLIM:
“Rasul memberi, tapi tidak dengan arogan. Dengan sentuhan. Dengan kelembutan.”
WONG:
“Ini jaman sudah lain…dulu ya dulu, sekarang ya sekarang.”
Masih tentang Hijrah, agaknya, Rasul Hijrah menjadi orang miskin. Untuk kita? Sederhana, Kadang hijrah kita dimulai dari yang singkat-singkat. Dari rumah ke gang. Dari gang ke angkot. Dari angkot ke bis kota. Dari bis kota ke rumah sakit. Dari rumah sakit ke kampus. Dari kampus ke…..Semua adalah persinggahan-persinggahan. Jadikan semua mendapatkan RAHMAT.
Nah, hal yang tidaK penting kali ini….adalah:
AKU MALU MENGAKU UMATMU, YA NABI..AKU MASIH MEMILIH KAWAN DAN SAHABATKU. AKU HANYA MEMILIH YANG KAYA DAN MEMBERI KEUNTUNGAN FINANSIAL UNTUKKU. NABI, SORRY BANGET YA? AKU BELUM BISA SEPERTIMU. AJARI AKU DONG SUPAYA SELALU MENEBAR RAHMAT TANPA PANDANG BULU…..SEPERTIMU.
[please, jangan dipercaya]