30/03/98

Baginda Permaisuri Marah

Di suatu kerajaan antah berantah, hidup seorang raja yang terkenal arif dan bijaksana. Semua rakyat merasa tenteram dan nyaman dengan kebijakan raja. Kemampuan raja dalam mengatur rakyatnya tak diragukan lagi. Para petani tekun dalam pertaniannya, para pedagang semangat karena pungutan pajak yang wajar, dan ilmuwan pun berkonsentrasi dalam bidang ilmunya masing-masing. Semua rakyat merasa mendapat perhatian dari sang maharaja.

Raja nan bijak itu bernama Sri Baginda Larung Rangga Wasesa. Layaknya seorang raja, ia juga didampingi seorang permaisuri. Permaisuri cantik itu bernama Sri Baginda Ayu Kencana Puspita Sari.
Mereka berdua hidup rukun. Meski telah sekian tahun mereka berumah tangga, mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Namun mereka tetap bersabar, karena mereka yakin doanya kepada sang Hyang Widi bakal terkabul.



Di suatu pagi yang cerah, baginda raja sedang bercengkerama dengan permaisuri di dalam kaputren. Mereka dikelilingi dayang–dayang cantik yang siap melayani raja dan permaisuri.
"Permaisuriku...," Sri Baginda memulai pembicaraannya.
"Ya, baginda” sahut permaisuri lembut.
"Engkau tahu, aku benar-benar ingin memiliki seorang anak. Apa yang terjadi kelak bila aku pergi, sementara aku tidak punya keturunan yang akan melanjutkan tahtaku.
"Jangan berkata seperti itu, baginda. Kita masih punya banyak kesempatan. Bukankah baginda sendiri yang mengatakan bahwa kita mesti bersabar.”
Pandangan sang raja menerawang jauh. Alam pikirannya terbang ke alam khayal dan kegelisahan.
"Dinda Ayu Kencana .“
"Hamba Baginda," jawab permaisuri.
"Sebenarnya...aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu. Menceritakan sesuatu yang selama ini membuat aku risau. Hal ini pula yang membuat diriku ragu dengan permohonan yang selama ini aku panjatkan kepada Hyang Widi," ujar sang prabu serius.
"Dapatkah dinda tahu apa gerangan itu, Baginda?"
"Mmm...itulah," sepertinya sang prabu ragu.
Tolong baginda jangan membuat aku penasaran begitu. Adakah hal itu sesuatu yang menyakitkan atau sesuatu yang buruk? Tolong baginda ceritakan untukku.” Pinta sang permaisuri.
Baginda prabu diam cukup lama. Raut mukanya memancarkan rasa bingung dan gelisah. Seolah sang raja tidak lagi ada kepercayaan kepada permaisuri. Tapi tiba-tiba, raja membuka mulutnya dan berkata,
"Dinda, aku bermimpi."
***

Menurut  kepercayaan rakyat, mimpi seorang raja adalah wahyu. Karena mimpi itu dipastikan akan menjadi kenyataan. Petunjuk itu terkadang menyenangkan dan kadang pula menyedihkan. Dalam keadaan seperti itu sang permaisuri tidak berani menegur apalagi mengajukan pertanyaan yang mengganggu.
Tak lama, tiba-tiba datang seorang prajurit dengan tergopoh dan langsung duduk bersimpuh di hadapan sang prabu.
 “Ampun baginda." Prajurit itu mengangkat kedua tangannya untuk menyembah.
“Ya, ada apa pengawal?,"  kata sang prabu.
"Ampun baginda. Di halaman istana telah berkumpul para begawan, para pendeta, dan para pujangga. Mereka datang karena memenuhi panggilan Baginda."
“Mereka semua berniat menghadap baginda Raja,” dengan masih sikap seperti menyembah dan mata tertunduk prajurit meneruskan laporannya, ampun baginda mereka datang dari segala penjuru negeri tetangga kita, dan mereka mengatakan kalau mereka telah diundang oleh baginda Raja.
Raja : “ Diundang.......? “ Sang prabu bergumam seperti mengingat ingat sesuatu.
Dan sementara itu sang prabu masih mendengarkan penuh tanya, dan akhirnya sang prabu bertitah, “ ada berapa jumlah mereka ?” tanya sang prabu.
Prajurit : “ Ampun baginda, jumlah mereka ada dua puluh tujuh,” jawab prajurit itu.
Raja : “ Adakah di antara mereka berbadan kerempeng, berambut panjang, bermata tajam, berbaju hitam ?” sang prabu menanyakan sesuatu yang sepertinya sang prabu telah mengetahuinya.
Prajurit “ A.....a...a...ampun baginda, yah...ada...ada baginda, ampun baginda, bagaimana baginda bisa mengetahuinya.
Raja      : “ Sudahlah suruh mereka masuk.
Prajurit  : “ baik baginda, lalu pergi meninggalkan prabu dengan sikap seperti dia waktu datang.
Raja : “ Permaisuriku kamu di sini saja dahulu, aku akan menemui mereka di ruang utama, dan jangan pergi sebelum aku datang, baik baginda jawab sang ratu.
Sang prabu pun berdiri dan meninggalkan sang permaisuri kemudian berjalan menuju ruang utama menemui para tamunya. Dan di sana telah berkumpul para tamu yang diceritakan oleh sang prajurit semuanya duduk bersila, dan saling berhadapan memanjang sampai ke dekat singgasana sang prabu.
Prajurit  : “Prabu sri baginda Rangga Wasesa telah tiba, semua berdiri dan memberi hormat, salah satu prajurit di pintu memberi tanda, dan saat yang bersamaan sang prabu berjalan dengan tegapnya melewati para tamu dan mempersilahkan tamunya duduk kembali.
Raja : “ Selamat datang para begawan, para pendeta, para pujangga, apa kiranya keperluan kalian datang kemari”.
Dan setelah mendengarkan perkataan sang prabu para tamu menjadi keheranan dan saling berpandangan. Tidak lama berselang di antara para tamu itu angkat bicara.
Tamu : “ Ampun baginda, seorang lelaki tua rambut dan jenggotnya telah memutih namun suaranya masih terdengar lantang.
Raja  : “ Ada apa begawan,
Tamu: “ Ampun baginda, bukankah baginda sendiri yang mengundang kami semua untuk datang kemari,” perkataan begawan tua di barengi oleh anggukan tamu yang lainnya.
Raja : “ Diundang?............ tutur sang prabu sambil mengrenyitkan kedua matanya, kapan kau mengundang kalian?”
Tamu : “Seminggu yang lalu Baginda salah satu di antara mereka menjawab.
Raja : “Seminggu yang lalu, perasaan,........ aku tidak pernah mengundang kalian malah aku bermimpi malah menemui satu persatu dari kalian, sambil melirik matanya ke salah satu tamu yang sejak tadi menundukan kepalanya. Lelaki yang diliriknya adalah orang yang di ceritakan dan yang di tanyakan  kepada prajurit sebelumnya.
Raja : “ dalam mimpiku, aku hanya bertanya tentang keluhan ku selama ini, aku bertanya mengapa permaisuri ku tidak juga mendapatkan keturunan. Kata sang raja.
Tamu : “ Benar baginda, seorang pendeta di antara mereka ikut bicara, baginda hanya bertanya an baginda masih menanti jawabannya bukan? Maka untuk itulah kami datang, dan kami datang karena kami belum bisa menjawabnya, tutur sang pendeta.
Raja : “ lalu apa yang harus saya lakukan, kata sang prabu.
Semua tamu terdiam, dan tak lama kemudian lelaki bertubuh kerempeng dan berambut panjang, serta berbaju hitam sendiri itu berkata.
Pujangga : “ maaf baginda, bolehkah hamba bicara.
Raja : “ silakan kata sang prabu.
Pujangga : “ sepertinya baginda gelisah.
Raja : “ benar jawab sang prabu.
Pujangga  : “ bolehkah hamba mengajukan satu permintaan.
Raja : “ apa permintaanmu.
Pujangga : “ kami semua datang dan berkumpul dengan harapan dapat membantu apa yang di impikan sang baginda raja.
Raja : “terus.....lalu.....lalu. kilah sang raja.
Pujangga : " untuk saat ini kami yakin dengan kehangatan sinar mentari, namun kami begitu ragu dengan sinar sang rembulan, lelaki itu berbicara santun dan puitis.
Raja : “ maksudmu apa hai pujangga.
Pujangga : ampun baginda,baginda dapat memanggil hamba, ganda suta.
Raja : “ dari mana asalmu Ganda suta, tanya sang raja .
Pujangga : “ pertama kali darah ku mengalir di randu geni, kini kulitku menempel di manggala tirto sari.
Raja : “oooooooooooo.............. kamu berasal dari randu geni, tapi kenapa kamu pindah ke manggala tirto sari, bukankah di randu geni cukup subur?
Pujangga : kulitku seperti tanah, membuat tanah ku tidak lagi subur, mataku yang memerah tidak menjadikan lelap tertidur, angan ku yang serakah membuat aku kini tersungkur, ganda suta berkata sambil menundukan kepalanya.
Raja : “ lantas kamu memilih tinggal di manggala tirto sari yang gersang dan tandus,cegat sang prabu.
Pujangga : “ hati ini telah terbakar oleh api kebodohanku, begitu hangusnya, hingga aku terbiasa menghirup udara kegelisahan. Hati ini telah habis aku takut bila tanahku yang hijau akan terseret terbakar seperti hatiku, aku tidak kuasa melihat mataku yang memerah menangisi kulit tanahku dengan terus merengek kepada sang dewa agar kelak nirwana hatiku tidak lagi terbakar. Dan ganda suta kembali bersajak.
Raja : “ baiklah terserah apa kata mu sekarang apa permintaanmu tadi, sang prabu mengembalikan pertanyaannya.
Pujangga : “ sudikah baginda berkenan, mempertemukan hamba dengan permaisuri.
Dan mendadak semua yang hadir di ruangan itu tertegun mendengar permintaan pujangga tadi mungkin terlalu gila.
Raja : “ mengapa harus permintaan kamu ?”
Pujangga : “ akankah baginda mengerti sang mentari yang terlalu hangat, padahal sinaran sang rembulan begitu redup? “ ganda suta malah bertanya puitis.
Raja : “ lantas apa hubungannya dengan permaisuriku,sang prabu memburu.
Pujangga : “ gelisahkah baginda, atau gelisahkah hamba ?”
Raja : “ baiklah ................., ujar sang prabu , tapi dapatkah kamu katakan apa yang akan kamu lakukan dengan permaisuriku.
Pujangga : “ aku tidak sendirian, mereka tidak ingin berbohong pada dirinya, biarlah hamba yang memintakannya.
Dan kembali semua hadirin yang datang mereka saling berpandangan. Mereka heran dan penasaran dengan pujangga itu. Kemudian lelaki tua berjenggot putih itu kembali berbicara.
Tamu : “ ampun baginda, kami sama sekali tidak kenal lelaki itu, dan kami rasa kami tidak menghendaki pertemuan kami dengan permaisuri.
Raja : “ benar semuanya begitu ? “
Tamu : “ benar......... sang prabu, semua tamu yang hadir menjawab dengan serentak, kecuali ganda suta.
Raja : “ bagaimana ganda suta? “
Pujangga : “ tikus tidak pernah mengaum, dan ayam tidak pernah pula mendesis, kalau baginda telah sungguh melihat hatiku yang telah terbakar, mengapa baginda sungguh pula kepada selain hamba.”
Dan bila memang hamba bukan bagian dari mereka, bisakah mereka jadi bagian dari hamba.
Raja : “ baiklah.............. aku kabulkan, kata sang prabu dan dilanjutkan dengan,
Aku kira pertemuan ini cukup sampai di sini, sekarang kalian boleh istirahat, aku ijinkan kalian melihat lihat sekeliling istana ini, dan bila ada keperluan apa saja, katakan pada para pengawal ku, dan permintaan itu akan kita adakan nanti sore.
Tamu : “ terima kasih baginda panjang umur dan mulia senantiasa mengiringi baginda, serentak semua tamu berkata, kecuali ganda suta dia tetap tunduk dan terdiam.
Sang prabu pun meninggalkan tempat itu. Para tamu semuanya bubar, hanya pujangga ganda suta yang masih duduk bersila di depan singgasana sang prabu. Dan hingga sore harinya semuanya berkumpul dan tibalah sang baginda raja di dampingi permaisuri.
Sang raja memulai pembicaraannya langsung  kepada sang pujangga tadi.
Raja : “ hai pujangga ............. sang prabu mulai bicara.
Pujangga : “ hamba baginda “
Dan mendadak sang permaisuri menoleh ke arah sang pujangga itu seakan ia mengenalnya suara lelaki kurus itu.
Raja : “ sekarang kamu bisa bertemu dengan permaisuriku lalu apa yang akan kau katakan.
Pujangga terdiam lalu berdiri dan :

“Angin telah membawa ribuan debu
Debu yang terbuang tak mungkin dapat kurasakan
Bila mata ini telah bersatu
Tak mungkin hati ini terpisahkan

Bila dalam mata ada setangkup asa yang dulu terajut
Bila dalam dada ada secercah reka yang dulu terbalut
Bila dalam sukma ada seuntai gita yang dulu tersambut
Mana mungkin kini kan terhanyut

Aku datang dengan satu tulang
Tulang rapuh dengan kerinduan tidak kepalang
Kerinduan tak tersingkirkan oleh padang nan gersang
Padang yang kian menusuk tulang- tulangku hingga aku mengerang
Mana mungkin rinduku kan terbang terbuang...........
Bila mataku masih telanjang bimbang ................

Permaisuri : “ cukup!!!!!! Sang permaisuri memotong sajak yang keluar dari mulut ganda suta. Semua yang menyaksikan tertegun. Tidak terkecuali sang prabu.
Permaisuri : “ cukup jangan kamu teruskan sajakmu . permaisuri berdiri sambil menunjuk sang pujangga.
Raja : “ ada apa permaisuriku?
Permaisuri : “ aku bilang hentikan, dan jangan engkau teruskan sajak mu itu. Seakan permaisuri tidak mendengarkan perkataan sang raja.
Sang raja terdiam dia teringat akan mimpinya dan dalam mimpinya dia di tampar oleh  lelaki kerempeng itu dan permaisuri menertawakannya. Mungkinkah ini akan terjadi pikir sang raja.
Sekarang giliran sang prabu yang berbicara.
Raja : “ hai........... ganda suta, siapa sebenarnya kamu ini?!
Pujangga : “ matahari tidak pernah dua, jawab si pujangga, dan rembulan hanya butuh satu sinar mengapa harus di pertanyakan?,” jawab pujangga.
Raja : ...heh .... pujangga, apa kamu tidak bisa ngomong yang biasa, tidak perlu bersajak seperti itu, sang baginda dengan suara dan nada keras.
Pujangga : “ aku tidak bisa terlahir untuk kedua kali, inilah aku, aku tidak bisa menjadi seperti dulu, bahkan aku takut kembali seperti dulu.
Raja : “ lalu apa hubungan mu dengan permaisuriku !
Pujangga : “ mutiara yang dulu ku gali dari samudra telah kau genggam, bila mutiara itu masih di sini, tangan pujangga sambil menunjuk ke arah jantungnya, maka segalanya terpihak untukku. “
Lalu mendadak muka sang prabu merah padam. Matannya melotot dan berdiri.
Raja : “ hai ....... pujangga gila, kamu baru saja bertindak bodoh, dan kamu akan menanggung akibatnya bila tidak memohon maaf kepada ku, dan kecongkakan raja sudah terlihat.
“ pantas dalam mimpiku aku di tampar oleh mu, dan permaisuriku menertawakan ku, dan kalian telah lama menjalin asmara yang tidak seharusnya, bagaimana mungkin kamu akan menolong ku bila kamu membawa mala petaka kepada ku. Sang raja mulai marah.
Raja : “ kuperintahkan kamu untuk minta maaf kepada ku.”
Pujangga : “ aku harus bersalah, untuk apa aku harus tidak bersalah, jawab sang pujangga.
Raja : “ dasar......!!! pujangga sialan, pengawal!!! Pancung dia, dan jangan biarkan darahnya menetes di negeri ini, buang jauh – jauh ke laut !!!” aku sudah muak mendengar celotehannya, perintah sang raja. Semua pengawal melaksanakan perintah sang raja tersebut dan mengikat sang pujangga. Bersamaan dengan itu pula permaisuri jatuh pingsan dan tersungkur tak sadarkan diri dan hal itu membuat suasana istana semakin riuh dan gaduh.
Beberapa dayang segera datang menolong sang permaisuri, sementara sang pujangga di seret keluar. Namun saat di seret keluar dirinya kembali bersajak :

" Bila manikam bersua dengan debu
Wajah siapa kan terharu biru.
Mataku telah pedih
Pedih menahan debu yang ada dalam angan ku
Tiba saatnya aku pergi berlari
Demi menyibak tirai dewa yang tebal tak terperi
Bila mata masih ada sejuta mimpi
Mungkin kini telah terbeli
Hadirkan tawamu........ dengan bahagia mu...........
Hadirkan senyummu bersama takdirmu.......
Hadirku padamu..... telah mengukir seonggok gundah
Maka biarkan diriku musnah..........

Akhirnya....... di pancunglah pujangga malang itu. Tubuhnya di buang ke laut. Tapi tidak satu pun orang yang iba dengannya. Bahkan mereka mengira dan menganggap itu pantas diterimanya karena kelancangannya.
Hari- hari pun terus berganti. Sang permaisuri belum juga sadar. Bahkan satu bulan lamanya dan bulan berikutnya, sang permaisuri menjadi gila. Dalam keadaan yang gila itulah ia bersajak :

" Mataku kini telah terkatup
Namun hatimu ada dalam mataku
Darah yang tidak lagi mengalir dalam jasadmu
Kini...... telah mengalir dalam jantungku
Aku bukan lagi manikammu
Tapi engkaulah matahariku ..........
Hangatnya sinarmu kan kurasakan sepanjang angan

Aku tidak bakal terbangun
Bila dirimu tak terbakar...
Berjalanlah ......... laksana angin yang membawa debu sucimu
Aku kan merintih bahagia ........ bersama takdirku.........

Demikian. Sang permaisuri melantunkan syairnya, setiap saat. Raut mukanya memperlihatkan bahwa baginda permaisuri sedang marah. Bila demikian sang baginda prabu diam dan merenung sedih.
***

Satu tahun berselang ...... sang permaisuri sembuh. Tapi aneh begitu sang permaisuri mulai sadar, sang permaisuri mulai muntah–muntah. Dan tabib istana mengatakan kepada sang prabu, bila sang permaisuri telah hamil.
Betapa bahagianya mereka. Sang prabu bersumpah bila putranya lahir kelak, dia akan membagikan daging sapi kepada seluruh penduduk desa. Dan rakyat pun turut bergembira. Dan setelah beberapa bulan kemudian sang permaisuri pun melahirkan seorang putra, sesuai dengan janji dahulu maka sang baginda pun membagi daging sapi segar kepada seluruh rakyatnya.
Raja : "Wahai...seluruh rakyatku, sambutlah kelahiran putraku yang pertama ini. Dia adalah putra mahkota dari negeri ini, negeri yang aku pimpin, kelak dia akan mengabdikan dirinya kepada negeri ini." Setelah mendengar berita kelahiran sang putra mahkota maka seluruh rakyat negeri bergembira, maka pada malam harinya diadakan pesta menyambut kelahiran sang putra mahkota, tapi satu keadaan yang tak di duga- duga sang permaisuri masih dirundung kesedihan yang mendalam atas mangkatnya sang pujangga.

"Kau bahagia di sana
Tenang dan tenteram selamanya
Tak akan ada lagi yang menyakiti hatimu...
Damai mu sepanjang hari...
Walau kini...
alam yang berbeda tak kan mampu
pisahkan kita
untuk selamanya..."

"Hatimu telah terluka karena ku
Jiwa yang lama memendam rindu
Kini tak lagi bersama
Jiwa ku yang kosong, jiwa ku yang sepi...
Kini tak dapat lagi bersama...
Jiwa ku telah mati...
Jiwa ku telah pergi...
Terbang bersama harapan

Melihat keadaan sang permaisuri yang begitu memprihatinkan sang baginda memutuskan untuk menjaga kamar sang permaisuri di jaga ketat agar tak sembarang orang bisa masuk keluar kamar sang permaisuri, sang baginda bertitah :
Raja : " hai........ para pengawal kerajaan, jaga kamar permaisuriku dengan ketat dan hanya beberapa dayang saja yang di ijinkan masuk ke dalam kamar permaisuri."
Prajurit : " baik .......... baginda hamba laksanakan titah baginda, sahut beberapa pengawal kerajaan yang sedang berdiri di samping baginda dan langsung bergegas masuk kedalam, bersama beberapa orang dayang untuk menjaga permaisuri. Dan dalam kesehariannya sang permaisuri selalu di rundung sedih yang tak berkesudahan, sementara itu para dayang mulai memasuki kamar sang permaisuri.

Dayang : " maaf...permaisuri kami mengganggu istirahat permaisuri, kami kemari atas titah sang baginda raja.

Permaisuri : " tidak apa- apa, toh kalian juga tidak akan mampu menghapuskan kesedihan yang kualami dan rasanya aku ingin berteriak, agar amarah dalam hatiku menghilang.

" air mata ku tak akan pernah habis
Bila mengingat semua kesalahan
Penyesalan tiada guna
Hanya menambah beban luka
Bahagia ku bahagiamu
Damai ku damai mu
Senandungkanlah nada cinta selamanya

Dan pelahan keadaan sang permaisuri pun mulai membaik, sang baginda mengerahkan seluruh tabib istana untuk mengobati sang permaisuri yang di cintanya sang baginda raja berjanji tak akan lagi menyakiti hati sang permaisurinya.

Brebes, 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar