Apa susahnya memuji?
Nabi sebagai uswah (model) para pengikutnya, sepertinya ingin memberi kesan bahwa menjadi seorang muslim tak harus kaku untuk memberikan apresiasi kepada sesama. Dalam hal ini, masing-masing dari kita punya cara yang sangat personal dalam memberikan satu apresiasi terhadap siapa dan apa pun. Konsep ini semakin kuat bila kita melihat lebih jauh bagaimana Islam ternyata memiliki sejumlah istilah umum yang demikian akrab di telinga kita, karena memang sering disampaikan ketika sesuatu terjadi. Mulai dari peristiwa kematian, melihat musibah, melihat petir, hingga melihat pemandangan atau peristiwa yang memesona. Maka wajar bila di lingkungan kita kemudian mengenal kosa kata inna lillahi, masya Allah, subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar dan seterusnya. Masing-masing mempunyai konteks dan logika sendiri kapan dan bagaimana diartikulasikan. Tentu rasanya beda, kalimat masya Allah yang kita ucapkan ketika melihat seorang perempuan cantik menawan dibanding ketika melihat peristiwa maling yang dikeroyok orang sekampung. Saya kira itu semua menjadi bukti betapa Islam mengajarkan secara sederhana agar kita mesti menjadi pribadi yang apresiatif.
Kata apresiasi sendiri diadopsi dari bahasa asing—appreciate—yang artinya kurang lebih sama dengan hamd yang berarti pujian. Tentu saja pujian yang jujur, bukan pujian dalam arti rayuan (khitbah), apalagi pura-pura memuji (al-gombal). Saya kira bukan ini yang dikehendaki Islam. Tentang ragam pujian ini, satu hal menarik lagi bila kita telusuri ke dalam khasanah klasik Islam. Di sana terdapat satu istilah penting tentang sedekah (shadaqah). Sedekah ternyata memiliki dua makna. Pertama, idkholul manafi’ ala qolbil makhluq (kontribusi kemanfaatan terhadap hati sesama); dan Kedua, idkholussurur ‘ala qolbil makhluq (kontribusi kebahagiaan kepada sesama). Untuk yang terakhir ini mungkin kita bisa menyebut sebagai “membahagiakan orang lain”, semacam sharing happiness lah kira-kira. Dan, untuk membahagiakan orang lain, tak harus dengan uang atau materi, bukan? Apalagi ada ayat yang menyebutkan bahwa ‘percuma saja kita mendermakan suatu harta kepada orang lain, tapi justru kita—sadar atau tidak—telah menyakiti hati yang menerima. Ternyata ukuran membahagiakan dan memperhatikan orang lain bukan dilihat dari banyaknya harta yang diberikan, tapi lebih jauh dari itu semua adalah soal menjaga hati orang lain.
Memberi pelajaran sekaligus teladan dalam memberikan apresiasi kepada orang lain, saya kira sangat penting dilakukan sejak dini. Betapa indah bila anak-anak kita—yang kelak akan menjadi pemimpin masa depan—memiliki kesadaran memuji. Saya malah curiga, orang yang tidak pandai memuji atau memberikan apresiasi kepada sesuatu adalah ciri orang yang tidak pandai bersyukur. Meski ungkapan syukur tak harus diucapkan dengan tahmid atau bahasa pukau yang lain, tapi setidaknya ada ekspresi gitu lhoh. Dan yang bikin serem lagi, orang yang tak pandai bersyukur itu dalam pandangan Islam bisa disebut kufur. Serem, kan?
Maka, amit-amit jabang bayi kalau pemimpin—atau calon-calon pemimpin—negeri ini tidak memiliki sense of ngalem. Karena, bisa dibayangkan, bila memberi apresiasi kecil saja tidak bisa dilakukan apalagi memberi apresiasi kepada sesuatu yang massif. Lihatlah jerih payah para pengabdi negeri?! Keringat para petani, peluh para pekerja tambang, atau geliat para kuli dan guru-guru di penjuru negeri. Jangan dikira, kursi empuk yang kau duduki kini, adalah cucuran keringat para pekerja yang seringkali mendapat imbalan tak pasti. Masihkah kita pelit dan bakhil untuk memuji? Mungkin kita oke untuk memberi dana (karena memang lagi ada), tapi kita sangat kikir untuk sekedar memuji kelebihan orang lain. Maka kira-kira kata nabi, “Kalau mau jadi pemimpin bangsa, belajarlah untuk memuji.” Bukan begitu, Pinky?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar