Perihal kerusuhan berdarah yang berlangsung di sekitar Makam Mbah Priok menurut saya tidak mengagetkan. Biasa saja. Peristiwa ini sudah “sepatutnya” terjadi. Saya sebut sepatutnya bukan dalam ranah etika, tapi dalam ranah logika. Tak mungkin ada asap kalau tak ada api, bukan? Kerusuhan tak mungkin berlangsung bila dimulai dengan pendekatan bijak tanpa unsur Gayus atau pun Markus.
Tentu saja tak bijak jika kesalahan peristiwa ini hanya dibebankan kepada Satpol-PP. Karena rakyat yang ada di sekitar makam pun turut terlibat melakukan aksi kekerasan yang serupa. Tapi untuk rakyat, tak mungkin melakukan aksi brutal kalau tanpa sebab. Dan pada momen kali ini sebab yang menjadi pemicu cukup mantap dan ideal, sebuah situs yang dikeramatkan sebagian umat Islam. Warga sekitar sangat mengerti benar tokoh yang dimakamkan di sana. Mbah Priok yang bernama komplit Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Husain Ass Syafi'i Sunnira ini, diyakini sebagai wali sehingga banyak dikunjungi bukan hanya oleh warga sekitar tapi juga dari masyarakat luar Jakarta.
Sementara ini saya meyakini bahwa latar kerusuhan ini tak hanya soal makam keramat. Peristiwa ini menjadi bagian dari ekspresi massa terjadap arogansi petugas yang selama ini “menjadi musuh” kaum tergusur. Masyarakat kita begitu akrab dengan aneka penggusuran yang selama ini kerap berlangsung. Dan logika yang ada pada setiap penggusuran adalah Satpol-PP sama dengan Penggusuran!
Jika logika Satpol-PP sama dengan penggusuran, maka sadar atau tidak, Satpol-PP benar-benar menjadi musuh utama alias musuh bebuyutan dari semua kaum yang tergusur. Maka jangan dikira pada kerusuhan di sekitar makam keramat itu hanya didukung oleh mereka yang merasa memiliki dan menyucikan makam, tapi juga didukung rakyat kecil yang selama ini tergusur. Seakan, rakyat cilik yang dulu sempat digusur pangakalan dagangannya di jalan sempat bergumam lirih, “Awas nanti kamu Satpol-PP. Kalau tiba saatnya nanti, kami semua akan mengamuk!” Bayangkan bila seratus orang mempunyai logika demikian? Tiga ratus, lima ratus dan seribu! Mereka adalah korban penertiban, penyesuaian, penataan kota, dan ragam istilah lain yang sebenarnya setali tiga uang dengan penggusuran.
Maka, jadilah peristiwa berdarah di Priok! Dan setelah ini, selagi aparat pemerintah masih menganggap rakyat sebagai budak, mari kita tunggu peristiwa berdarah lain yang pasti lebih mengerikan karena merenggut korban lebih banyak lagi. Kita tunggu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar