22/10/12

KEPADA AYAH (Monolog)


kita semua tengah menanti...



DI SEBUAH SENJA YANG TEMARAM, DI SEBUAH TERAS RUMAH YANG  SEPI. DI SEBUAH KURSI, DUDUK SEORANG LELAKI YANG SEDANG GELISAH. SESEKALI IA BERDIRI, SEPERTI TENGAH MENANTI SESEORANG.

SEMENTARA, LAMPU TERAS YANG KECOKELATAN ITU HANYA MAMPU MENYAPUT SEBAGIAN WAJAHNYA. GURATAN DI WAJAHNYA SEAKAN MENYIRATKAN SEBUAH PERJALANAN HIDUP YANG SANGAT PANJANG. KEMATANGAN HIDUP NAMUN JUGA LUKA YANG MENDALAM.

DI KEHENINGAN ITU, DIA HANYA TERDIAM.

TIBA-TIBA DERING TELEPON MEMECAH SUASANA. IA BERDIRI DAN MASUK KE DALAM RUMAH. DI BALIK KACA RUMAH, IA TERLIHAT BERBICARA SERIUS DI TELEPON. NAMUN, KARENA CAHAYA RUMAH YANG REDUP, HANYA BAYANGAN TUBUHNYA YANG BISA TERLIHAT.

Ayah bilang kamu pulang sekarang juga!
Ayah tak peduli!

Ah...itu cuma alasan kamu saja!
Kamu pikir gampang?! Hah?!
Ayah tidak mungkin menerima keputusanmu itu....titik!

Tidak ada tapi-tapian....ayah sudah terlalu lama berharap agar kamu bisa kembali hari ini juga. Dan kamu tahu, sekarang sudah senja!
Seharian ayah menunggu dan menunggu agar kamu segera pulang. Ayah sudah tidak punya kekuatan lagi untuk bisa.....Ah, apa...? Heh....Ayah belum selesai bicara!...
Kamu ini maunya apa sih?!
Heh!!! Halo...halo...halo...

HANYA ITU YANG BISA TERDENGAR. SETELAH MENUTUP TELEPON, IA KELUAR DENGAN GONTAI LALU KEMBALI DUDUK DI TEMPAT SEMULA. DI KEHENINGAN ITU, IA SEPERTI INGIN BERBICARA KEPADA SESEORANG; TAPI ENTAH KEPADA SIAPA. TERKADANG MATANYA MENYAPU KE DEPAN SEPERTI MELIHAT ADA SESEORANG YANG DATANG. TAPI KETIKA YANG DILIHAT TERNYATA KESEMUAN, IA TERTUNDUK MENYERAH.
Salah apa aku ini. Inikah karma untukku. Aku benar-benar sudah tak berharga lagi.....Kenapa ia mesti berpikir kalau dia akan menggantikan semuanya? Kenapa dia beranggapan kalau semuanya bisa diganti dengan uang? Dia benar-benar tidak tahu. Aku tidak mau berhitung soal itu. Oh Tuhan...apa salahku?

SESEKALI IA BERDIRI, NAMUN LAGI-LAGI IA KEMBALI MENGHEMPASKAN DIRNYA DI KURSI MALAS. TUBUHNYA MENJADI TAK BERTENAGA MESKI HANYA UNTUK MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA SEKALIPUN.
Apakah aku berdosa bila aku punya permintaan kepada anakku? Apakah aku salah? Aku hanya minta satu hal. Ya, sedikit harapan yang belum sempat aku lakukan, ketika aku muda dulu. Dan harapan itu ingin kusandarkan kepada dia,...anakku satu-satunya.

Bukankah, anakku adalah belahan jiwaku. Bukankah anakku adalah darah dagingku? Separuh nyawa yang bersemayam bersama nyawa istriku,...ibunya...(SEDIKIT TERBATA)…yang telah pergi...

CAHAYA BERUBAH. DIA TENGGELAM. KINI, DIRINYA MENJELMA MANJA DAN NAIF.
Ayah...kenapa sih ayah tak pernah memberi aku kesempatan...
Ayah tidak percaya?
Ayah tidak percaya kalau aku mampu melakukan semuanya, hah?!
Ayah, ingat! Aku lahir bukan karena kamu. Aku lahir karena memang aku harus lahir. Kamu tidak punya urusan dengan apa pun ketika aku sudah ada di muka bumi ini...! Aku terlempar di sini bukan kehendakmu. Tapi kehendak Sang Waktu.

Aku, adalah manusia utuh. Aku adalah manusia namun dibatasi status sebagai anak, bocah, atau apa pun yang membuat aku harus tunduk kepadamu. Sebagaimana kamu, aku lahir karena waktu. Aku lahir karena angin. Urus saja semua urusanmu untuk menjadi manusia. Dan aku, ya, aku, juga akan mengurus diriku sendiri untuk menjadi seorang manusia. Bukan seorang bocah!

Dan ingat ayah! Jangan mentang-mentang kamu yang mengalirkan spermamu ke rahim ibuku lalu kamu seenaknya menghatur cara hidup dan kemauanku?! Kalau kamu memang ingin menyayangi aku, sayangi saja dirimu sendiri!

CAHAYA KEMBALI BERUBAH. IA KEMBALI LUNGLAI MENANTI SANG ANAK.
Oh, Ayah...Tiba-tiba aku jadi ingat engkau....Oh, aku sama sekali tak pernah menyangka kalau aku juga harus mengalami seperti ini...
Aku sungguh malu.

Ayah, apakah kau di sana mendengarku? Betapa sulitnya menjadi ayah. Oh, kenapa aku masih merasa seperti seorang anak sementara kini, aku telah benar-benar memiliki seorang anak. Kenapa aku masih...Ah!!

DIA TERBANGUN. NAMUN ENTAH UNTUK APA DIA TERBANGUN. LELAKI ITU BINGUNG MENENTUKAN SIKAPNYA. IA BERJALAN SEPERTI INGIN MENGHAMPIRI SESEORANG.
Mungkin ini karma. Ya, karma. Dulu, aku tak pernah puas sebagai seorang anak kepada orang tuaku, terlebih kepada ayahku. Apakah ini balasan untukku karena aku tak pernah mengenali ayahku, sehingga kini anakku juga tak pernah mau mengerti aku? Apakah benar seperti itu yang tengah terjadi?

IA KEMBALI MENOLEH KE KURSI MALAS. DI SANALAH AYAHNYA DUDUK. DIA MENDAPATI SOSOK YANG SUDAH TAK ASING BAGI DIRINYA.
Ayah, masihkah kau ingat semua kenakalanku? Apakah kau akan mengampuni kenakalan yang pernah aku lakukan, Yah?
Ayah, aku...kini telah menjadi seorang ayah. Tapi, tapi aku kalah menjadi ayah. Aku tak mampu tersenyum sebagaimana kamu dulu selalu tersenyum ketika aku menentangmu. Aku tak bisa menjadi dirimu saat ini. Dulu, aku tak pernah berhasil menjadi seorang anak kepadamu, dan kini aku pun tak berhasil menjadi seorang ayah untuk anakku.
Ayah, aku...kalah.

LELAKI ITU TERSUNGKUR. IA MERANGKUL KURSI AYAH. IA MENANGIS. TAK LAMA, IA BANGKIT. IA MENGUSAP AIR MATANYA.
Mungkin aku bukan seorang ayah. Secara genetik mungkin dia anak keturunanku. Tetapi, dia bukan anakku. Seperti aku kepada ayahku.

TIBA-TIBA
Tapi, untuk apa aku bersikap bodoh dengan membatasi diriku sebagai ayah atau bocah. Bukankah tugasku sebagai seorang anak sudah selesai? Dan tugas menjadi ayah, juga sudah tamat.  Ah, omong kosong! Persetan anakku, akan melakukan apa pun. Toh, dia telah mencoba menjadi dirinya. Seperti aku yang sekarang ini. Dan aku pun harus menjadi diriku sendiri. Ha ha ha ha ha....Ya...ya...ya...sekarang aku mengerti.


IA MELOMPAT.
Hai anakku, dengar!....Terserah kamu mau melakukan apa...terserah!...Aku bukan siapa-siapa mu lagi. Apa pun boleh kamu lakukan. Dan aku, ya aku, aku juga akan melakukan apa pun tanpa harus...

DERING TELEPON KEMBALI TEDENGAR DARI DALAM RUMAH. IA TERBENGONG SEJENAK LALU TURUN DAN MASUK KE DALAM RUMAH. IA MENGANGKAT TELEPON.
Ya halo.  Hai anakku....apa kabar?
Kamu jadi ke makam ibumu?
Oh, syukurlah.
Kapan rencana kamu menyelesaikan skripsimu?
...Hah, sudah selesai? Kamu tidak bohong, kan?
Iya...iya, ayah percaya.
Kok Ayah tidak dikasih tau?
Ha ha ha ha...Kamu mau surprise?

Terus?
Hah? Kamu mau datang kemari? Serius? Kapan?
Nak, mungkin tadi ayah salah. Ayah tidak serius kalau...tunggu, tunggu dulu ayah belum selesai bicara. Ayah bisa mengerti. Apa yang kamu inginkan. Tapi tolong untuk yang satu ini kamu jangan membantah. Paling tidak, cobalah kamu tunjukkan i'tikad baikmu. Aku tidak minta apa-apa darimu. Aku tidak menuntutmu untuk memberi ayah sesuatu. Sama sekali tidak. Aku hanya minta cobalah kamu rubah cara hidupmu.

Hah, apa?
Iya, apalagi kalau bukan tentang hidupmu.
Kamu tidak pernah menentukan arah hidupmu dengan jelas. Ini hidup, Nak! Kamu jangan sembarangan dengan cara hidup yang kamu pilih. Iya, aku bisa hargai pilihan hidup yang kamu pilih, tapi aku tidak yakin dengan apa yang akan terjadi kelak!

Oh, tidak.
Ayah bukan pesimis.

Ini sederhana. Kalau kamu tidak merubah hidupmu, kamu pasti akan,...sebentar. kamu jangan mengalihkan pembicaraan!

Ini ayah lagi ngomong serius!
Ok! Terserah.
Ok, silakan! Memangnya kamu mau ngomong apa?

Apa?
Kamu sudah punya pacar?
Siapa?
Apa? Anjing?!
Anjing, kamu bilang?
Kamu bercanda?
Heh...ini ayahmu?
Kamu jangan bercanda. Masa pacarmu anjing?!

Ya jelas ayah tidak percaya dong!
Maksud kamu apa sih?!
Ah! Sudah, sudah. Hentikan omong kosong tentang anjingmu itu...
Heh, kok diam?
Halo, halo. Jangan ditutup.

DENGAN WAJAH BINGUNG IA KEMBALI DUDUK DI KURISNYA.
Anjing?

MESKI TERSENYUM, NAMUN BUKAN SENYUM BAHAGIA. IA SEMAKIN KALUT DENGAN KEDAAN ITU. IA MENARIK NAFAS DALAM-DALAM. IA TERPEKUR. TANGANNYA MENOPANG DAGUNYA YANG TERASA BERAT.
Mungkin, aku harus menyerah.
Aku mungkin bisa mengembalikan harapanku dengan caraku sendiri. Aku harus merasa cukup dengan apa yang selama ini aku peroleh.
Aku tak mampu melihat lagi. Tapi meski begitu, aku akan tetap menanti.

Ya, satu hal yang bisa aku lakukan hanya menanti.
Bukankah aku juga tinggal menunggu saat-saat itu tiba?
Oh, seandainya anakku tahu kalau tak lama lagi aku mati.
Mungkin dia tidak seegois seperti itu. Atau aku harus mengatakan padanya kalau tak lama lagi aku harus pergi meninggalkannya. Ah, tidak! Dia tidak boleh tahu. Aku benar-benar sayang padanya.....
Dan dia harus tetap bebas menentukan sikapnya.

DIAM. MENANGIS
Oh, anakku, seandainya kamu tahu apa yang aku inginkan.
Aku hanya ingin di saat-saat seperti ini...kamu ada di sini, menemaniku. Seperti dulu, ketika kamu masih kecil; akulah yang menemanimu.
Apakah kamu tidak tahu. Di sini, ayahmu ini...benar-benar merasa..sepi.
Aku hanya ingin kamu tahu itu...

DIA MENYERAH. DIA BERDIRI NAMUN SEPERTI ENGGAN. SEPERTI MASIH BERHARAP, SESEKALI IA MELIHAT KE HALAMAN DEPAN. TAPI SELALU SEPI YANG IA SAKSIKAN. IA PUN LALU MELANGKAH MASUK.
Semoga besok ia benar-benar datang.

SEBUAH MUSIK KLASIK MENGALAUN. SEPERTI GITAR ATAU PIANO YANG MANJA.
TAK LAMA IA PUN KEMBALI KELUAR. KALI INI IA MENGENAKAN PIYAMA DAN SELIMUT. WAJAHNYA BENAR-BENAR MEMELAS.
Ah, sepi!....
Mungkin pagi-pagi.
Semoga besok ia benar-benar kembali.

IA KEMBALI MASUK KE DALAM RUMAH.
HENING, SEPI. KEMUDIAN LAMPU PUN PADAM.

TAMAT
(WD)