19/08/12

Pengampun, Seperti Tuhan

Tentu saja saya tidak tahu Tuhan seperti apa dan bagaimana. Hanya Dia saja yang Tahu. Meskipun  begitu, sangat nyata saya merasakan Kehadiran-Nya. Apalagi Kanjeng Nabi Muhammad sudah membocorkan berbagai rahasia tentang alamat Dzat Wajibul Wujud yang kemudian kita kenal dengan Allah. Berbagai nama pun disandangkan kepada-Nya dalam lintas sejarah dan peradaban. Konon, segala nama, segala laku, segala sifat, bahkan segala peristiwa adalah alamat-Nya, bahkan Diri-Nya. Salah satu bocoran itu adalah bahwa Sang Tuhan adalah Maha Pengampun. Dia bukan hanya penyayang, menyayangi segala termasuk coro, asu, celeng, dan tentu kita semua: manusia.

Sementara, manusia yang sejak awal digadang-gadang Tuhan untuk menjadi Khalifah di bumi, ternyata memang mesti melewati ragam laku dan peristiwa. Selama itu pula, ragam salah dan dosa menghiasi cucu Adam, anak manusia. Kadang, kesalahan itu berlangsung dan menimpa sesama, saudara, hayawan, para flora, bahkan seluruh semesta. Ketika salah, mungkin kita cukup berat untuk mengakui kesalahan. Memang, mengakui kesalahan adalah satu laku yang luar biasa berat, karena meminta maaf berarti membenamkan ke-aku-an kita. Namun, ternyata ada yang lebih berat lagi dari meminta maaf, yakni memaafkan atau memberikan ampunan.

Bila kita mau jujur, mengampuni  sesungguhnya membebaskan. Siapa yang dibebaskan? Tentu saja semesta, yang di dalamnya termasuk diri kita sendiri yang memang sejak awal sejajar dan sederajat sebagai sama-sama ciptaan-Nya. Bila kita belum ma(mp)u mengampuni orang lain, sama artinya kita masih menyimpan khasanah kesalahan orang lain dalam dada kita. Bayangkan jika dada kita dipenuhi sesak oleh daftar entri kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang lain? Betapa kotornya hati kita ini. Kesadaran ini justru meneguhkan bahwa orang yang dalam posisi benar (apalagi merasa benar) bukanlah orang yang tak selalu bersih.

Jika di antara kita punya sahabat yang sempat melakukan kesalahan pada kita, terlebih satu kesalahan yang kita anggap sangat fatal, maka ragam ekspresi akan kita muntahkan. “Cukup sampai di sini saja persahabatan kita.” Atau, “Aku tidak akan memaafkan selama kamu tidak datang meminta maaf kepadaku.” “Aku mungkin memaafkan dia, tapi tidak akan melupakan kesalahannya, rasanya terlalu sakit!” “Sudah aku maafkan, tapi maaf, aku sudah tidak bersahabat lagi dengannya.” “Tolong jangan sebut nama dia lagi. Dia sudah memuakkan dan namanya sudah tidak pantas disebutkan.” Dan masih banyak yang lain ekspresi yang mungkin lebih menyeramkan.

Memangnya siapa kita? Sampai-sampai  tidak mau mengampuni orang lain? Siapa pun yang tidak membebaskan, berarti ia penjajah bagi dirinya sendiri. Dan panglima besar penjajah itu bernama si Aku! Lalu untuk apa berlebaran dengan baju baru, bila rasa Aku itu masih bersemayam di dadamu? Bukankah  "awwalu man qoola ana, asyaitan?"

Bila Tuhan yang Maha Agung dan Pemilik seluruh semesta adalah Maha Membebaskan dengan Mengampuni hamba-hambaNya, kenapa kita yang sompret dan degil ini masih blagu?

***

19 August 2012 at 03:06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar