02/02/12

[Si]apa yang Menang?

Saya punya sahabat yang cukup akrab, Arham namanya. Wajahnya lumayan, kepandaiannya juga lumayan. Ia seorang sarjana di sebuah perguruan tinggi Islam negeri di Jakarta. Karena cukup dekat, beberapa hal yang mungkin dianggap pribadi sering ia ungkapkan kepadaku. Konon di kampungnya, beberapa orang tua telah mengajukan putrinya ke ayahnya Arham. Mulai dari calon perawat, guru, hingga sarjana ekonomi. Tapi Arham sudah punya sosok idaman yang telah ia tambatkan dalam hatinya.



“Semua mengalir begitu saja,” kata Arham ketika itu.
“Waktu aku mendekati gadis itu, sebenarnya hatiku masih tertambat pada gadis lain. Tapi entah kenapa aku seperti terbawa arus yang aku sendiri tak bisa memahaminya,” lanjut Arham.
“Bahkan, ketika aku sudah dekat, aku sama sekali belum merasakan jatuh cinta padanya. Mungkin aku kasihan karena dia sangat perhatian padaku, tapi tidak juga.” Arham selalu bersemangat bila bercerita kronologi kisah cintanya kepadaku.
Menurut Arham, tak lama sejak lamaran itu, ia benar-benar mulai bisa mencintai gadis itu, dan benar-benar dapat melupakan gadis “pujaannya” yang dulu. Singkat cerita, Arham menikahi gadis itu. Pada resepsi yang digelar sederhana di rumah mempelai perempuan itu hadir para sahabat dan kolega termasuk saya. Nah, dari sinilah sebenarnya saya menyampaikan satu hikmah yang luar biasa.
Ketika salah satu saudara Arham yang lebih tua bertanya kepadanya, “Memang kamu tidak bisa mencari yang lebih cantik lagi?,” dengan santun dan penuh percaya diri Arham menjawab,
“Demi Allah, saya sudah sangat bersyukur karena telah dihidupkan dan dijadikan sebagai manusia dengan nama Arham oleh Allah. Saya malu bila banyak meminta kepada-Nya.” Terlepas apakah jawaban itu mengada-ada, sok diplomatis, saya berbaik sangka saja kepadanya. Apalagi, secara pribadi saya percaya bahwa sahabatku itu punya kapasitas memiliki kesadaran demikian.

Ketika menulis kisah nyata ini, saya tiba-tiba teringat Darwin, Bapak Evolusi itu. Darwin menyebutkan bahwa makhluk hidup senantiasa berjuang memertahankan spesiesnya. Penelitian yang dilakukan di pulau Galapagos itu cukup menghentak banyak kalangan, terutama kaum agamawanlantaran  Darwin menyebut nenek moyang manusia adalah kera. Tentu saja ragam kritik dan bantahan yang meragukan teori Darwin datang silih berganti hingga kini. Dan saya pribadi, dalam beberapa titik tertentu tidak sependapat dengan pandangan Darwin. Tapi entah mengapa, satu hal yang sampai saat ini masih sering diamini banyak orang adalah konsep struggle for life yang menurut Darwin menjadi landasan berevolusi. Seakan, hidup adalah sebuah kompetisi, pertandingan, atau perlombaaan. Dan siapa pun yang ingin menang, ia harus bekerja keras, berperang, demi mendapatkan kemenangan. Benarkah hidup ini mencari “kemenangan”?

Mari kita bersama menelusuri jejak “menang” dan “kemenangan”. Jika dugaan saya tidak keliru, ungkapan “menang” dan “kemenangan” memang cukup akrab di telinga kita. Tentu saja kita bisa memulai ungkapan menang ini dari pemenang perlombaaan, pemenang pertandingan, memenangkan kuis berhadiah, hingga memenangkan perkelahian. Atau mengapa di ujung bulan Ramadhan misalnya, selalu disebut bahwa orang yang telah menyelesaikan puasa adalah para pemenang. Sehingga Hari Raya Idul Fitri pun disebut sebagai Hari Kemenangan. Belum lagi seruan muadzin ketika mengajak shalat. Setiap lima kali sehari, para muadzin mengumandangkan, “Hayya ‘ala al-Falaah, yang secara sederhana dapat diartikan Mari Kita Raih Kemenangan.” Dan tidak tanggung-tanggung, ajakan meraih kemenangan itu disampaikan persis setelah ajakan menunaikan shalat, “Hayya ‘ala al-Shalaah.”

Sekarang, pertanyaan yang mungkin dapat diajukan adalah kemenangan apakah yang dimaksud? (Si)apa sebenarnya yang menang? Apakah untuk memenangakan sesuatu kita membutuhkan tenaga layaknya seorang petarung? Jika diperhatikan dengan seksama, selama ini ungkapan kemenangan selalu identik dengan hasil akhir dari proses penaklukan terhadap sesuatu. Sehingga seringkali ihwal kemenangan selalu berkait dengan pencapaian prestasi, perolehan keuntungan, hingga penaklukan atas manusia atau obyek lain. Jika pemahaman ini yang dipahami, maka proses kemenangan sangat reduktif hanya dalam persoalan fisik dan pikiran semata. Agaknya, kita lupa satu hal yang sangat penting dalam diri kita tapi selalu saja kita kalahkan. Itulah hati (Qalb)

Dalam hidup, seringkali kita lebih sering memenangkan ego ketimbang hati. Apa pun yang berlangsung adalah bagaimana memuaskan diri sendiri. Kita lupa, bahwa kebahagiaan sejati adalah ketika kita berkesempatan membahagiakan orang lain. Dan selama berbuat baik dan membahagiakan orang lain, tidak ada logika agama yang menuntut agar kita harus dibalas dengan kebaikan pula oleh orang yang kita perlakukan baik itu. Bukankah menurut al-Quran kita diciptakan tak lain hanya untuk mengabdi kepada-Nya? Maka, berbuat baik kepada seluruh semesta (rahmatan lil ‘alamin) adalah tugas kita. Tapi bagaimana balasan orang lain terhadap kita, bukan urusan kita. Mencintai istri, sahabat, atau saudara kita adalah tugas kita, tapi bagaimana timbal balik mereka kepada kita jangan dijadikan tuntutan. Karena, jika kita mengharap balasan dari mereka, kita seringkali dikecewakan.

Jika demikian kesadaran yang ada, sepatutnya kita cukup menjalani hidup dengan merawat, menjaga, dan melestarikan anugerah-Nya. Tapi, bagaimana hasil setelah apa yang kita lakukan, bukan lagi wilayah kita. Bukankah segala sesuatu berlangsung atas Kehendak-Nya? Jika memang segala apa yang menimpa kita hakikatnya adalah dari-Nya, maka mestinya kita bangga menerima-Nya.”
Jika kita punya keyakinan bahwa yang mesti kita cari itu bernama bahagia, maka jujurlah bahwa tak ada bahagia yang abadi di bumi ini.  Jika kita punya keyakinan bahwa yang mesti kita hindari dan kita tolak bernama susah atau derita, maka jujurlah dalam hati bahwa tak ada kesusahan atau derita yang berlangsung selamanya.

Masing-masing dari keduanya, datang silih berganti sebagai keutuhan kehidupan. Apa yang disebut bahagia atau susah setiap orang pasti merasakan. Tak hanya orang kaya yang dapat merasa bahagia, tapi seluruh umat manusia. Tak peduli apakah ia miskin, bodoh, kuli, pegawai rendah, bahkan gembel sekalipun. Jika orang kaya merasa bahagia ketika ia berhasil membangun supermarket, maka si gembel merasa bahagia ketika ia berhasil mengumpulkan sampah-sampah. Tentu saja, rasa bahagia itu sama, yang membedakan hanya obyek atau faktor yang membuatnya bahagia. Inilah di antara prinsip keadilan Allah.

Kembali pada Arham, jika ia memaksa diri memeroleh istri yang cantik jelita, apakah dijamin ia bahagia selamanya? Bukankah bahagia dan susah itu datang silih berganti kepada siapa saja? Apabila ia memaksakan diri memiliki istri yang kaya raya, apakah kesusahan dapat terhapus dari hidupnya? Sama sekali tidak. Susah dan senang adalah kurikulum Allah yang selalu dihamparkan kepada setiap hamba-Nya. Mestinya, kita selalu menerima pada setiap ketentuan yang Allah berikan. Bukankah menerima dengan kesungguhan hati merupakan prinsip utama Islam yang berarti pasrah?
Masihkah kita mati-matian mengejar sesuatu yang tidak kekal? Bukankah hanya Allah semata yang Maha Kekal? Tapi mengapa kita masih mati-matian mencari atau menghindari sesuatu jika sebenarnya semua itu adalah pelajaran dari-Nya? Mengalirlah dengan wajar dan alami. Belajarlah pada air yang rendah hati, bergurulah pada gunung yang sabar, berlapanglah seperti samudera, dan bersemangatlah menerima segala pelajaran dari-Nya seperti api yang tak kunjung padam. Akhirnya, (si)apa sebenarnya yang kita menangkan?***

Pernah dimuat di Majalah Hidayah-Januari, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar