05/09/09

JIDAT HITAM sebagai LIFESTYLE

Dulu,
Jidatku hitam
karena lantaiku

Kini,
Lantaiku hitam
karena jidatku

Nanti,
Lantai dan jidatku hilang
Karena hitamku


Di satu kesempatan, Teja, kawanku bercerita. Maklum, dia tengah mulai karir tobat di bulan ramadhan ini. Kisahnya bermula ketika ia hendak salat zuhur di sebuah mushola yang letaknya di basemant sebuah mall. Seperti biasa ia hanya membawa tas ransel. Meski ransel itu terlihat bulukan tapi berisi sebuah notebook seharga 70 kali lipat harga ransel yang hanya 200 ribu itu.

Ketika hendak berwudhu, Teja kebingungan di mana ia harus menaruh ranselnya itu. Suasana musholla begitu ramai. Maklum hari itu tanggal muda. Banyak orang yang berbelanja untuk menghabiskan uang gaji mereka, terlebih lebaran tak lama lagi tiba. Di tengah keramaian yang hiruk itu, Teja melihat seorang lelaki yang sedang berzikir. Secara tak terduga lelaki yang tengah zikir itu beradu muka dengan Teja. Di sanalah kebahagiaan Teja hadir. Pesona penuh kesalihan terpancar dari aura wajah lelaki itu. Ditambah lagi, pada keningnya tampak bekas sujud yang menghitam. Sebuah tanda yang tak diragukan lagi bahwa pemiliknya jidat itu adalah ahli sujud. Tak ada satu pun sangka dari Teja kecuali kesalihan dan kesalihan. “Kalau tidak salah namanya husnu dzan,” kata ustad Imron. Maka, dengan kepolosan dan tanpa sangka, Teja menitipkan ransel kebanggaannya pada lelaki yang tentu saja tidak ia kenal. Teja menaruh ransel persis di sebelah kiri lelaki berbaju putih itu. Dengan anggukan ritmis penuh ketulusan, lelaki itu seperti mengerti apa yang dikehendaki Teja; yaitu menitipkan tas ransel.

Sejurus setelah wudhu usai, Teja kembali menghampiri lelaki salih yang dengan bahasa rahasia dipercaya untuk menjaga ranselnya. Betapa kaget hati Teja. Ternyata tasnya raib bersamaan dengan lelaki yang berzikir tadi, yang berjidat hitam tadi, yang menurut Teja salih tadi. Teja melompat, berkeliling ke sana kemari. Menanyakan ke semua orang yang dia anggap bisa memberikan informasi seputar ransel dan lelaki berjubah putih itu, lelaki berjidat hitam itu. Tapi nihil. Teja lemas duduk terkulai di teras musholla dan hampir melupakan shalatnya. Dalam salat Teja, wajah lelaki “salih” itu terus membayang. Lelaki berjidat hitam itu.

Dalam Islam—sebagai pada agama-agama lain, bukti-bukti kepatuhan dan ketaatan hamba pada Tuhan tak selalu dilihat dari faktor luaran saja. Meski benar bahwa dalam Islam ada sisi lahir, namun sisi batinlah yang sesungguhnya menjadi titik tekan. Satu di antara contoh sederhana itu adalah jidat yang menghitam. Dari sejumlah wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa orang yang mempunyai jidat hitam, paling tidak ada 5 (lima) hal yang dapat dikatakan sebagai kategori.

Pertama; Mereka jujur bahwa jidat mereka hitam karena memang sengaja berlama-lama ketika sujud. Sujud di luar shalat pun mereka lakukan demi dapati jidat yang berwarna hitam. Bahkan bila perlu mereka sedikit menekan atau membenturkan sedikit keras di atas lantai. Untuk menghitamkan, dipilih pula jenis sajadah atau tempat sujud yang sedemikian rupa agar mendukung proses penghitaman jidat. Alasannya sederhana, jidat hitam dapat meninggikan prestise dan menjadi ukuran ketaatan dirinya. Tak jarang karena jidatnya hitam, bila bepergian di suatu tempat dirinya sering didaulat untuk menjadi imam shalat, atau membacakan doa. Sebuah nilai yang luar biasa. Alasan lain adalah jidat hitam diyakini ampuh untuk menjadi sugesti bagi dirinya agar tidak melakukan hal-hal negatif, karena terjaga dan “tidak enak” dengan jidat yang sudah menghitam itu.

Kedua; Tadinya mereka tidak berupaya untuk mengitamkan jidat mereka. Seperti sesuatu yang datang begitu saja. Bahkan mereka mengakui kalau shalat mereka biasa-biasa saja. Tidak secara khusus menjalankan shalat secara berlebihan. Pada kategori ini mereka di antaranya justru berupaya menghilangkan hitamnya jidat dengan berbagai krim pemutih atau alat kosmetika tertentu. Tentu saja ada yang berhasil ada pula yang gagal; artinya jidat mereka masih berwarna hitam.

Ketiga; Kelompok ini tidak memiliki kesan apapun dengan jidatnya yang hitam. Malah mereka merasa malu dan merasa ekslusif. Namun mereka jujur sewaktu-waktu hitam jidatnya dapat memberikan manfaat sebagaimana pada kelompok pertama. Tapi pada kelompok ini mereka menjadi risih ketika sedang berkumpul dengan golongan atau kelompok yang—katakanlah kurang beriman—agak abu-abu. Agak risih bila temannya mengajak minum atau maling ayam. Ini tentu akan dirasakan pula oleh mereka yang jidatnya hitam tapi ingin sekali korupsi. Kelompok ketiga ini seperti bunglon. Saleh di masjid atau pengajian, tapi bangsat di pangkalan atau di comberan.

Keempat; Kelompok ini pernah mempunyai jidat hitam tapi kini tidak lagi. Faktornya pun beragam. Ada yang memang sengaja menghilangkan dengan alat-alat kosmetik atau pemutih, ada pula yang mengaku sudah tidak lagi menjalani laku sujud seperti sebelumnya. Tapi mereka yakin, kalau mau pasti bisa hitam lagi. Untuk kelompok ini biasanya bila bertemu dengan orang yang jidatnya masih hitam akan berkata, “Dulu jidat saya juga menghitam. Malah lebih hitam lagi. Tapi sudah saya bersihkan. Saya tidak mau dikatakan sok saleh atau sok taat.” Lalu biasanya orang yang jidatnya masih hitam akan menjawab, “Iya nih, saya juga tidak tahu kenapa jidat saya hitam begini. Padahal saya juga malu.” Dialog seperti ini sangat wajar namun tetap indah. Meskipun jangan pernah bertanya tentang kejujuran hati.

Kelima; Kelompok ini adalah kelompok yang tidak pernah memiliki jidat hitam. Tapi jangan salah, cita-cita dan ambisinya untuk menghitamkan jidat tak pernah kunjung padam. Target utamanya adalah jidat hitam. Masalah nanti setelah hitam tidak perlu shalat lagi, itu masalah lain. Jadi rumusannya adalah, demi mencapai hitam jidatku bila perlu aku akan melakukan shalat apa saja. Bila perlu jadwalku setiap hari adalah sujud, sujud, dan sujud. Ternyata tak cukup dengan hanya sujud. Tembok, pintu atau sesuatu yang tebal kadang bisa menjadi sasaran. Mirip mereka yang sedang belajar Kung Fu. Kategori ini sangat iri dengan kelompok yang sudah sukses menghitamkan jidatnya. Dan bila bertemu dengan mereka yang sudah hitam jidatnya akan mengatakan, “Wah, beruntung sekali Anda. Anda adalah termasuk penghuni surga. Karena tanda sujud yang menghias di jidat Anda.” Kalau pun tidak sampai mengucapkan, kelompok yang belum beruntung ini akan mengatakan dalam hati, sekali lagi dalam hati, “Awas, lihat saja nanti. Sebentar lagi jidatku juga hitam. Memang kamu saja yang bisa menghitamkan jidat?!”

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al Fath: 29)
Yang dimaksud dengan bekas sujud tentu saja bukan bekas fisik di jidat. Tapi efek (atsar) dari sujud itu sendiri. Percuma sujud (meski jidat sampai gosong), tapi pribadi tak pernah sujud, alias sombong, alias congkak, alias merasa hebat. Jangan hanya fisiknya saja yang sujud, tapi yang utama adalah ruh kita yang sujud. Sujud, Bro!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar