14/01/10

KITAB TEKA TEKI SILANG


Sekali Lagi Teka Teki Silang


Aku punya kawan yang beribadah sebagai sopir pribadi. Sebut saja namanya Yudhi. Memang namanya Yudhi! Sebagai sopir, ia bertugas mengantar kemana pun si bos pergi. Hal menarik dari dia adalah ritual yang ia lakukan ketika menunggu sang juragan. Ritual yang selalu dilalui dalam masa penantian itu adalah mengisi Teka Teki Silang. “Ah, daripada bengong nungguin,” katanya berkilah.

Saking demen pada TTS ia punya cukup banyak koleksi. Mulai dari yang tipis, sedang hingga tebal. Mulai dari TTS yang bercover artis Indonesia, Jepang, hingga Mandarin. Dan sekadar tahu, ketika tulisan ini disusun, sekian jam sebelumnya saya mengantar dia membeli dua buku TTS. “Murah, Wong. Satu TTS cuma dua ribu.” Kata Pak Yudhi minta ditraktir. Kadang, di sela penantian itu pun aku sering larut alias nimbrung mengisi TTS. “Kalau ngisi TTS begini, bisa bikin pinter kan, Wong?” Tanya dia tadi siang. “Wah tentu saja. Kita nanti bisa berfikir dengan cara yang komplit dan utuh. Mendatar dan menurun, bahkan tepat sesuai isi kotak.” Aku mencoba menjawab meski dengan jawaban yang maksa.

Perilaku Pak Yudhi mengingatkanku pada seorang di kampung Jatirokeh, Brebes sana, yang juga senang mengisi TTS. Dia akrab dipanggil Man Wato. Mirip nama Jepang, tapi ia jelas 100% asli Indonesia. Seorang yang pernah transmgrasi ke Riau ini memiliki tubuh kekar mirip Rambo. Kini ia menetap di kampung sebagai buruh yang tak kenal lelah. Tapi jangan tanya, dia sangat paham dengan TTS dan Surat Yasin. 

Sebagian kita mungkin akrab dengan teka-teki silang (TTS). Minimal pernah membeli, atau bahkan pernah mengisi meski tak sampai utuh. Dan bila ditemui soal yang susah, terutama bagi yang gampang menyerah, maka dengan gampang akan berdalih, “Wah, ini pasti bikin pertanyaannya keliru.” 

TTS menjadi dunia jawab yang sudah dikotak. Kita boleh jawab asal sesuai dengan kotak yang tersedia. Seperti kita tak punya kesempatan untuk menjawab lain, apalagi sampai melewati demarkasi kotak dalam TTS. Itu dapat merusak! Meski dikotak, kita dituntut peka mencari jawab yang bukan hanya benar tapi pas! Karena ketika jawaban mendatar tengah dibubuhkan, kita mesti sadar akan jawaban apa yang tepat nanti di bagian menurun. Di sini, tiap huruf memiliki makna dan ragam kemungkinan. Artinya, tiap satu jawaban, entah menurun atau mendatar selalu punya implikasi pada jawaban-jawaban yang lain.

Kalau mendatar kita keliru sudah dipastikan keliru menjawab pertanyaan menurun. Begitu sebaliknya. Ah, menjawab TTS seperti menjawab hidup. Bukankah pertanyaan dalam bahasa Arab disebut Su-al, dan singular dari sual adalah mas’alah yang diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi masalah. Hidup adalah pertanyaan. Dan menjalani hidup adalah menjawab pertanyaan. Bukan sekadar menjawab dengan kata dan bahasa, tapi menjawab dengan tingkah nyata. 

Hidup seakan TTS. Hidup menjadi Teka Teki Silang. Tak harus kotak, karena bisa saja dibuat bujur sangkar, lingkaran atau segitiga. Asalkan jawaban kita tepat! Ada jawaban untuk tanya mendatar, ada pula tanya menurun. Jawaban mendatar dan menurun seakan mempertegas kesadaran tentang hablu minannas dan hablu mina allah. Orang bisa saja menjawab secara vertikal dengan benar, tapi belum tentu akan tepat ketika horisontal. Indahnya ayat TTS. Akan semakin indah dan mudah bagi siapa saja yang sudah terbiasa mengisi TTS hidup. Bahkan belum usai tanya itu dibaca, ia sudah membayangkan jawabannya.

Coba lihat lagi yang mendatar: Udang Kering. Istana Genting. 
Nama kandang burung dara, Mendatar. Kandang Kuda|Maskapai penerbangan Iran, Menurun.
Panggilan bangswan, Mendatar|Panggilan untuk perempuan tua
Kerangka layang-layang…

Terima kasih, Pak Yudhi...selalu ada TTS di wajahmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar