06/01/10

Menulis dan Merasakan

Teruslah berdusta, sampai engkau muak. Berjanjilah..,” demikian kata Iwan Fals.

Sejak kapan tradisi menulis muncul? Tentu sejak ada kesepakatan manusia untuk menggunakan kalimat dan huruf yang menjelma dalam bahasa. Sejak kapan bahasa digunakan manusia? Ya sejak manusia mengada di semesta ini. Berbahasa adalah berpikir, menyampaikan gagasan, hingga menceritakan hal-hal yang sangat personal dialami. Bahasa bisa digunakan dengan lisan dan simbol. Di antara yang simbol itu bukan hanya pada rambu-rambu lalu lintas, tapi juga tulisan.

Kalau ada tulisan, pasti ada yang menulis. Kalau ada penulis yang menuliskan sesuatu, pasti akan dibaca, minimal oleh penulisnya sendiri. Dengan tulisan itu, sang penulis dan pembaca seakan dijembatani, difasilitasi untuk connect alias nyambung. Dari situ, sidang pembaca kemudian bisa maklum, apa yang sedang dipikirkan si penulis, apa yang diketahui penulis, hingga apa yang dirasakan si penulis. Meskipun lagi-lagi sekomplit kata-kata yang terangkai menjadi kalimat dan bahasa tak akan mampu mewakili segenap rasa yang dirasa si penulis. Maka kejujuran bisa dilihat pada karya tulis itu, belum tentu dimiliki oleh si empunya penulis. Artinya, kalau ada tulisan yang berkisah tentang kesetiaan, tak mesti si penulis itu sangat setia. Bila dijumpai tulisan yang mengabarkan tentang perempuan, penghargaan pada perempuan, penghormtan pada perempuan, tak lalu, bahkan sangat tidak bisa dipastikan si penulis itu sangat ngregani alias menghargai perempuan. Karena kadang tulisan menjadi ruang imaji tersendiri bagi sang penulis. Seolah si penulis punya dunia sendiri dan khayalan yang mungkin ideal bagi si penulis.

Tipis memang antara karya tulis dan dusta. Aku bisa saja menulis tentang kedisiplinan, tapi aku ternyata sangat sembarangan dan tak punya aturan. Mungkin saja aku menulis tentang sosok ibu yang penuh kasih, tapi nyata hidup aku adalah anak yang durhaka pada emak. Atau bisa saja aku menulis tentang tradisi tulus dan cinta kasih, hingga peribadatan seperti membuang sampah pada tempatnya, tidak meludah sembarangan, tidak mengumpat dan memaki orang lain, tapi dalam praktik keseharian, aku adalah sosok yang bajingan bin bromocorah!

Orang bijak menuturkan, tulislah sesuatu yang jujur, sesuatu yang apa adanya. Ya, apa adanya saya kira lebih afdol daripada ada apanya. Menulis toh seperti rekaat-rekaat dalam shalat. Kalau gerakan itu dilakukan dengan penuh kesungguhan pasti menghasilkna dampak di luar shalat. Kalau tidak, ya bohong namanya. Pantas, bila para tetua pada malu untuk menulis karena khawatir apa yang ia tulis tak pernah ia lakoni dan ia praktikkan dalam hidup. Mungkin kaburo maktan… So, jujur atau mati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar