Namun, sejarah bercerita lain ketika Mulla Shadra dengan filsafat Transendental-nya (Hikmatul Muta'alliyah),— mengungkapkan konsep kesatuan wujud Tuhan. Filsuf Persia ini tidak mengalami nasib tragis sebagaimana pendahulunya, Al-Hallaj. Alasannya sederhana, mereka mampu menjelaskan konsep-konsep tersebut secara diskursif-demonstrasional (burhani).
Sementara sejarah terus mencatat, tidak sedikit anak manusia yang akhirnya tertimpa "hukuman" juga karena kata-katanya. Sampai di sini agaknya pepatah Arab "lidah lebih tajam dari pedang" menjadi tepat. Pertanyaannya kini, haruskah kita diam, kapan kita harus berkata, bila perlu berteriak lantang.
"Bila kata-kata tak lagi bermakna, maka diamlah," demikian ungkap Iwan Fals. Manusia pemberani adalah manusia yang tegas menyatakan suatu kebenaran, meskipun pahit adanya. Kebenaran harus dinyatakan, sebab bila kebenaran dipendam dan disembunyikan ia akan berbalik menjadi racun yang membinasakan. Orang yang bijaksana niscaya tidak akan ingkar terhadap kebenaran serta sanggup mengungkapkannya. "Diam adalah lebih buruk; semua kebenaran yang disembunyikan akan menjadi racun, " demikian Nietzsche.
Dalam keseharian, kita sering berhadapan dengan masalah keberanian. Keberanian untuk berterus terang, jujur, terbuka, dan apa adanya. Di antara kebenaran utama yang mesti dimiliki seorang manusia adalah jujur pada diri sendiri. Kejujuran untuk mengakui bahwa diri kita tidak "cakap" atau tidak "bersih," misalnya. Jujur untuk mengakui kelebihan orang lain, jujur untuk menyadari bahwa apa yang pernah dilakukan seseorang adalah baik dan perlu diteladani. Namun agaknya, sikap seperti ini kian hari kian pudar.
Memang, kebenaran tidak cukup hanya melalui kata-kata. Ribuan baris kata-kata tak akan cukup mampu mengungkapkan suatu kebenaran. Tapi, bukankah manusia telah memiliki parameter-parameter kebenaran? Kebenaran bukan lahir dari siapa yang bicara. Tak peduli ia bawahan atau pesuruh rendah. Bila itu adalah suatu kebenaran, siapa pun harus menerima. Karena kebenaran selalu objektif dan universal.
Dalam realitas, saat-saat tertentu mungkin kita harus berani angkat bicara, dan pada kesempatan lain kita juga punya pilihan untuk tidak bicara. Sehingga, kita tidak menjadi manusia yang selalu mengangguk dengan ketidakbenaran yang senantiasa berlangsung? Lalu, haruskah kita turun ke jalan atas kezaliman yang terus digarap negeri ini?, misalnya. Tak perlu muluk-muluk. Berani bicara bisa dimulai dari diri kita sendiri. Misalnya, "Pantaskah aku menjadi seorang pemimpin?" Dan lawan bicara yang paling jujur pada diri kita adalah hati. Dialah cermin.
Bicaralah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar