15/05/05

BACAAN

Dalam kelelahan aku duduk di teras rumah dengan surat kabar tergeletak di pangkuanku. Sebenarnya tak ada yang kubaca. Baris-baris kata yang terdedah dalam surat kabar seperti telah aku pahami isinya. Yaitu sesuatu yang membosankan. Maka apa pun yang tertulis, meski dengan pilihan kata yang hebat atau menakutkan aku tetap bergumam, "Ah, biasa." Bahkan ketika aku akan membeli koran itu, aku bisa langsung paham apa isinya. Tapi aku tak pernah berhenti membeli koran. Aku masih berharap ada sesuatu yang bisa aku dapatkan dari setiap koran yang aku baca. Paling tidak aku bisa mencibir, tertawa, kagum, hingga tak peduli.



Gelap.
Tiba-tiba alam pikirku mengajak ke sebuah suasana. Suasana yang tidak aku pahami dari mana datangnya. Tapi sesuatu itu jelas membuncah dari bagian diriku yang paling dalam. Sesuatu yang  datang dari hati. Mataku terpejam, duduk di tempat yang sama, melakukan pekerjaan yang sama, yaitu membaca koran. Tapi koran yang aku baca kali ini, berbeda dari koran-koran sebelumnya. Setiap kata, setiap kalimat yang aku baca, secara mendadak berubah. Berubah menjadi rangkaian kalimat yang sesuai kehendak hatiku. "Ini benar-benar ajaib," aku membatin.

Aku masih terpejam dalam kelelahan, tentu saja dalam dunia nyataku. Tapi di alam yang entah apa namanya, aku pun terjaga. Di sana. Di tempat entah itu aku membaca sebuah headline, "Bencana Batu Adalah Bencana Kita…" Tidak, aku tidak membacanya demikian. Kalimat tadi tak terbaca. Karena saat itu yang kubaca adalah, "Rencana Ratu Adalah Rencana Cinta."
"Ah, ini mustahil," pikirku. Aku coba berontak. Ini seperti sebuah peperangan dalam alam pikiran. Aku terus mencoba menggeliat keras agar terbangun dalam kesadaran. Tapi semakin aku berontak, aku semakin kabur antara alam nyata dan alam yang entah apa namanya ini. Kedua-duanya menjadi sama.
Masih dalam kesempatan yang sama aku kembali membaca, "Dana Taktis Kembali Digelapkan…" Tapi itu pun tak terbaca. Entah mengapa yang kubaca adalah, "Cara Praktis Menghilangkan Kegelapan." Sebenarnya aku ingin teriak. Tapi percuma. Berkali-kali aku sudah lakukan itu. Tapi tak ada satu orang pun yang mampu mendengar.
"Apakah semua orang yang ada di sini sudah tuli?!"

***

"Preman Telah Kembali Menguasai Negara," bukan itu yang terbaca tapi, "Kedamaian Memecah Segala Angkara."
"Seorang Ibu membuang Bayi di Trotoar,…. Segudang Rindu Menimang Janji di Memoar."
"Tawuran kembali Terjadi,…Campuran Rasa Bisa Mengobati."
Apa yang kubaca menjadi apa yang kurasa. Tapi apa yang kubaca tak pernah aku pahami maknanya. Aku hanya melintas. Melintasi kata demi kata untuk terbaca.
Sebenarnya ini kehendak siapa? Siapa yang membuat aku tak mampu membaca yang tak semestinya. Apakah ini benar-benar kehendak hati dan pikiranku untuk merubah semua bacaan itu? Atau ada sesuatu yang menjadikan aku cenderung berfikir dan berkehendak sehingga aku membaca sedemikian itu. Atau jangan-jangan aku telah gila. Aku tak diberi kesempatan untuk berfikir apalagi membantah. Karena suasana terus memaksaku untuk terus membaca. Aku tak menyerah untuk terus berontak. Tapi semakin aku berontak, cara membacaku kian gila tak terarah.

Akhirnya aku mencoba kompromi dengan alam keparat itu. Aku biarkan suasana itu megajak ke sana-ke mari. Aku nrimo pikiranku digiring untuk berfikir "seperti itu."
Ketika aku mulai kompromi dan rileks bergumul dengan alam "itu" aku seperti dihargai. Itu pun entah dihargai oleh siapa. Aku hanya merasa. Aku seperti diberi keleluasaan untuk ikut merenda, mengedit, dan memilih kata-kata yang semestinya aku baca. Kini aku sudah mampu menguasai ketidaksadaran dalam kesadaran. Aku mantap dengan ketidak pastian ini. Bahkan dalam diriku muncul keyakinan baru bahwa apa yang selama ini nyata adalah ketidaknyataan yang nyata.

Tapi masalahku tidak berhenti begitu saja. Sikap kompromis yang aku lakukan ternyata tidak menyelesaikan masalah. Kini muncul kegundahan baru dalam alamku yang baru "itu." Aku seperti dijungkir balikkan dari semua pengalaman kesadaran yang selama ini aku alami. Aku terpental jauh dalam kamar kegelisahan. Seakan-akan aku sedang terbang di atas rangkaian kalimat dan kata-kata. Kamar kegelisahan itu berujud kata-kata, kalimat-kalimat, koma, dan titik.

Kalimat-kalimat yang aku baca tak bisa kujeda walau sebentar dengan koma. Kata-kata yang terangkai menjadi kalimat itu tak bisa kuhentikan dengan titik. Kalimat yang sangsi dengan kesangsian tak bisa kukalungi dengan tanda tanya. Bahkan kalimat yang tegas dan berani tak bisa kuperjelas dengan tanda seru. Semua kalimat-kalimat, tanda-tanda itu menyerang dan menyerbuku.
Aku dicubit kemauan ","
Aku ditampar ketegasan "."
Aku dipukul kuatnya "!"
Aku pun dijejali kesangsian "?"
Alam apa ini?, mengapa aku mengalami peristiwa semacam ini. Apakah ini balasan dosa secara langsung karena aku tak pernah menghargai koran?, ataukah ini hanya mimpi dan aku hanya tinggal bersabar menunggu untuk terjaga? Kalau ini memang mimpi kenapa aku menyadari bahwa "ini" bukan mimpi? Atau kalau ini kenyataan, apakah benar kenyataan itu menyuguhkan hal yang demikian?
Aku terkapar berlumuran "tanda-tanda." Aku terhempas dan berkubang dalam "tanda-tanda."  Dan yang paling membuatku semakin gila adalah keadaan yang selama ini aku yakini nyata terjungkal.

***

Aku masih menggengam gumpalan koran. Koranku masih tergeletak di pangkuanku. Aku pun masih terduduk di teras rumah. Aku masih membaca koran yang sebenarnya tak benar-benar aku baca. Aku hanya melihat kata-kata, aku hanya menatap rangkaian kalimat. Dengan sekali-kali aku mengernyitkan dahi, tersenyum, mencibir, menelan ludah, dan tertawa.

Dalam kelelahan aku berfikir keras, "Apakah semua orang begini?" Aku memejamkan mata dan menggeliat. Pada saat itu seperti ada sesuatu yang keluar, menukik dari dalam tubuhku. Dan, "Ups," koranku terjatuh. Aku bergeser dan beranjak untuk menggapai koran. Tanganku menempel dan meraih koranku yang jatuh. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kenyataan baru. Ternyata yang aku itu bukan koran, tapi hanya kain pel.
"Gombal, kurang ajar!," aku memaki diriku yang gila. Dan aku pun kembali melanjutkan pekerjaanku, mengepel teras rumah.
***
Minggu, 15 Mei 2005/02.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar