09/04/04

Pasti

Warung di tikungan tutup. Hanya satu warung kecil yang masih buka, di ujung jalan. Tapi untuk ke sana kami harus melewati kuburan. Bukan masalah, kami harus menuju ke warung ujung jalan itu karena kami berlima. Kami sepakat bahwa kamar kosan di samping kampus tidak lagi memberikan suasana hebat. Pengap karena kepulan asap. Sempit. Dan yang paling utama adalah kami berlima kompak, terserang lapar.


Kuburan telah terlewati. Warung kopi sudah di kelopak mata. Aku dan keempat kawanku masih hangat mendiskusikan masa depan suatu negara dan bangsa. Kebetulan negara itu bernama Indonesia. Tak ada yang kurang dari obrolan kami tentang Indonesia. Semua masuk akal. Semua layak untuk dijadikan pegangan bagi siapa pun yang ingin berkuasa di ujung Indonesia. Kadang salah satu dari kami menyebut salah seorang calon presiden yang kelayakannya tidak bisa dipertahankan. Terlalu dipaksakan. Kami masih murni. Tidak pernah terlibat urusan korupsi negara. Hanya saja kami juga masih kompak, bahwa seiring lapar yang menerjang kami belum yakin apalagi percaya siapa yang bakal mahir membumikan konsep-konsep kami berlima yang masih mahasiswa. 

Konon kami idealis. Konon. Entah sampai kapan. Idealis atau tidak mi rebus dan mi goreng sudah tersaji. Ada yang menambahkan saus. Ada yang asyik mengambil kerupuk seperti Aji sambil berorasi,
"Tidak mungkin Roy, kalau partai-partai lama masih bercokol, negara kita nggak mungkin bisa beres. Meskipun partai-partai itu berdalih telah menggunakan paradigma baru."
"Tapi begini Ji, justru pengalaman mereka memberdayakan segenap aspek dapat dijadikan kekuatan lain."
Tidak bisa, tetap tidak bisa. Sekali telah membuat luka tetap membuat luka. Titik."

Aku masih asyik makan. Apalagi teh panas dengan gelas geger mulai diseruput. Aku sama sekali nggak sadar kalau dari tadi Jendul masih saja diam. Dia malah habis duluan dibanding yang lain. Maklum dia dari tadi diam. Malah kini Jendul sudah asyik menyalakan rokok. Pandangannya menerawang jauh ke atas. Dan yang membuat aku tambah geli, dia cengar-cengir, mesem-mesem. Sepertinya dari tadi dia menertawakan apa yang sedang dibicarakan Roy dan Aji.
Sementara Laso malah asyik ngobrol dengan Parta si penjual mi rebus. Menurut Parta apa yang didengar dari Aji memang benar. 
"Itu, si Aji bener. Kita sudah nggak percaya dengan baju-baju lama. Tapi kita juga nggak yakin bener dengan baju-baju yang baru."
Laso tampak santun menanggapi Parta, "Terus menurut Mang Parta gimana?"
"Ya pokoknya siapa pun yang memakai baju harus dibersihkan."
"Bersihkan apanya?"
"Ya itu kotoran-kotorannya. Seperti orang yang kotor tercebur comberan, itu kan harus mandi dulu yang bersih."
Mandi dulu yang bersih."
"O, gitu Mang Parta"
"Lha iya"

Aku malah tertarik dengan komentar Mang Parta. Aku terlalu sering mendengar Si Aji ceramah. Paling ngomongnya itu-itu terus. Revolusi, revolusi, revolusi sampai mati. Entah, dia sendiri berani mati atau tidak. Minggu lalu waktu demo di DPR dilabrak kopral aja langsung pingsan.

Jendul. Jendul mulai memperhatikan dan menyimak dengan seksama terhadap Roy dan Aji. Jendul mulai manggut-manggut. Kali ini Jendul seperti ingin terlibat dengan Roy dan Aji. Tapi apa yang dikatakan Jendul, aku sendiri tidak pernah benar menebak Jendul. Karena Jendul yang sebenarnya bernama Masuki sering membuat lontaran- lontaran yang misterius, berani namun bisa dijadikan pilihan. Jendul hanya julukan lantaran di atas jidat kirinya timbul satu gumpalan kecil seperti tumor. Tapi tak pernah mengakui kalau itu tumor, ia beralasan bahwa itu benda bawaan sejak lahir dan tidak pernah tumbuh berkembang alias ajek.

Aku semakin tak sabar. Malam semakin serius. Angin terus mendukung pekatnya malam. Motor- motor tukang ojek sudah habis. Pulang mengumpulkan tenaga untuk esok hari. Aku semakin dengan apa yang ingin dilontarkan Jendul anak semester empat itu. Namun Aji masih berkuasa. Aji ceramah layaknya dialog interaktif di TV. "Perubahan yang harus di lakukan adalah perubahan total. Terutama adalah supremasi hukum. Negara ini tidak mungkin dipercaya dan dihargai rakyat apalagi pihak luar, bila supremasi hukum tidak di tegakan. Bukankah kita masih menyaksikan bajingan- bajingan tengik itu berseliweran di hidung kita?", Aji memang orator. Apalagi perutnya sudah terisi. Aji semakin bersemangat.

Selepas kepulan asap rokok yang kuhisap, Jendul menepuk punggung Roy. " kalau menurutku begini. Negara ini memang telah berantakan. Di mana- mana tidak ada yang bisa di percaya, " kalau Jendul sudah nyerocos setan pun tidak berani protes.
"Caranya adalah dengan perubahan total. Namun di sinilah kita sangat membutuhkan pengorbanan."
"Maksudmu apa Ndul !"
"Maksudku begini. Suatu konsep yang menurutku realistis dan berani adalah negara kita harus bekerja sama dengan negara luar."
"Heh Jendul, kita sudah tidak percaya lagi dengan pihak asing. Mereka sama buas dan liarnya untuk menjajah kita dengan lilitan hutang."
"Hutang maksud kamu Ji ?"
"Iya apa lagi ndul."
"Makanya dengar dulu aku ngomong. Yang aku maksud adalah negara asing yang mau menampung kita untuk sementara. Umpamanya Afrika yang luas, dengan Afrika kita bisa bekerja sama."
"Afrika ?"
"Iya Afrika, memang kamu dengarnya apa Roy."
"Begini, kita, negara kita harus bekerja sama dengan Afrika. Kerja sama yang dilakukan adalah meminjam sementara wilayah Afrika yang tidak terpakai oleh penduduk Afrika agar bisa di huni penduduk kita." Aku semakin tidak mengerti arah omongan Jendul. Namun Jendul masih melanjutkan.
"Jadi, seluruh penduduk Indonesia yang masih hidup tanpa terkecuali untuk sementara pindah ke Afrika. Di saat semua penduduk pindah, semua wilayah Indonesia kita hancurkan. Semua kita ratakan dengan tanah. Ya tanah Indonesia." Semua terdiam. Roy, Aji,laso, aku bahkan Parta melotot namun tidak yakin.
" nah biala semua wilayah Indonesia telah rata dengan tanah dan tidak ada apa- apa lagi, saat itulah kita kembalikan sebagian penduduk yang tinggal sementara di Afrika. Semua dikembalikan sedaerahnya masing-masing untuk mengelola daerahnya. Jadi kamu Roy, balik ke suka bumi. Terus kamu Ji balik ke Pontianak sementara aku dan Laso pulang ke Purwokerto."
"Aku yakin, apabila  semua penduduk Indonesia kembali bekerja dari nol, dari apa adanya semua akan berlomba dengan baik. Tidak ada kapitalis. Kita kembali sebagai negara agraris. Kita bagi tanah semua dengan adil. Kita bisa bangun desa dan kota dengan tata kota yang baik dan layak. Hunian-hunian sederhana namun layak huni. Kalian akan membayangkan tidak ada lagi kendaraan yang macet, apalagi macet total. Karena kita tidak perlu lagi mengimpor mobil tapi berdayakan kendaraan tradisional kita saja."
Bila "sebagian" orang telah di kembalikan dari Afrika, semua harus bekerja keras dengan sungguh- sungguh di daerahnya masing–masing. Jakarta bukan ibu kota negara lagi, kita pindahkan saja ke Pontianak agar persis terletak di tengah- tengah Indonesia, karena Jakarta adalah kota khusus untuk menampung penjahat- penjahat dari kelas teri hingga kelas kakap. Jadi tak ada lagi orang yang mimpi sukses di Jakarta."

Aku membayangkan bila yang di katakan Jendul diwujudkan apakah aku bisa bekerja dengan baik tanpa fasilitas yang cukup. Tapi kami kembali berpikir justru hal ini adalah terobosan yang luar biasa. Ini seperti dua bom atom yang di ledakan di Hiroshima dan Nagasaki Jepang. Gagasan orisinal untuk kembalikan kondisi kita seperti semula tidak ada pabrik tak ada asap. Tak ada bising. Wah aku jadi membayangkan seperti kembali ke jaman kerajaan Majapahit. Tapi, aku penasaran dengan kata- kata Jendul yang mengatakan hanya "sebagian" orang saja.
 "Ndul maksudmu sebagian orang yang di pulangkan lagi ke Indonesia itu bagaimana ?"
"O begini, jadi orang-orang yang usianya di atas empat puluh tahun, yang tidak produktif lagi apalagi yang dulunya banyak kasus, kita tinggal saja di sana. Seperti...., ya Kalian pasti paham lah. Percuma dibawa kembali pasti cari gara-gara. Kita tembaki saja di sana atau kita biarkan mereka tinggal di hutan Afrika, paling nanti dimakan macan atau serigala."

Kami manggut-manggut. Aku diam. Aku yakin Jendul mulai kerasukan. Aku tak mau lagi bertanya. Aku pikir gila, tapi masuk akal. Ternyata Laso yang biasanya masa bodoh dengan ngomong-ngomong serius malah mengkritik Jendul.
"Heh Ndul, segala sesuatu pasti membutuhkan biaya. Bagaimana hal itu mungkin?, dan berapa biayanya ?"
"Bagus. Pertanyaan bagus, So. Begini, negara kita kan kaya. Demi suatu masa depan bangsa yang gemilang. Demi anak cucu kita kelak, semua harta para penjabat, konglomerat dan termasuk harta kita semua wajib kita kumpulkan. Biaya itu yang akan menggarap semuanya. Aku yakin organisasi dunia semacam PBB, World Bank nakal  menyetujui rencana ini bahkan sangat mendukung.

Suasana hening. Makin hening tapi makin membingungkan. Sementara seolah belum puas, Jendul melanjutkan kalamnya,
"Hanya saja kita akan mempunyai masalah besar."
"Masalah ?" Kini malah aku yang tidak terima, karena aku sudah mulai percaya dengan judul. 
"Iya masalah."
"Masalahnya adalah siapa pun tak bakal mampu dan berani melakukan ide brilian itu!" Jendul mantap.
Semua tak kuasa tertawa. Parta pun tak ketinggalan. Ia sedang membayangkan calon-calon presiden yang pasti takut untuk melakukan perubahan besar-besaran dengan segala risiko dan konsekuensinya.
Aku dan kawan-kawanku yang gila harus kembali ke kontrakan. Setelah membayar mi rebus dan teh manis pada Mang Parta. Setelah melewati kuburan itu. Setelah melewati warung kopi yang tutup itu. Dan setelah melewati ide Jendul yang tak pasti itu.

***
April 2004
             


Tidak ada komentar:

Posting Komentar