29/11/01

C E R P E N

Sore. Hujan tak hebat. Istriku marah. Anakku mandi hujan, basah. Tak ada yang istimewa di sore ini. Istriku masih marah, karena aku tak pernah sukses menulis cerpen. Cerpenku hanya bisa tertuang dua hingga empat halaman lalu entah tak berkesudahan. Istriku marah bukan lantaran ketidaksuksesanku menulis cerpen, tapi lebih karena aku tidak pernah bisa menghasilkan uang sepeserpun dari menulis cerpen.


Sore menjelang maghrib. Aku masih tak punya kekuatan apalagi kesaktian untuk menulis cerpen barang satu paragraf sekalipun. Anakku sudah mandi. Dia kini sedang menyantap mie rebus di sampingku. Aku perhatikan anakku yang cukup serius menikmati setiap lekuk mie rebus yang ia telan dalam mulutnya yang mungil. Kupaksa imajinasiku mengarah pada mulut anakku. Aku berharap ada ide cerita untuk menulis cerpen dengan memperhatikan mulut anakku secara serius.

Aku sudah melupakan hujan sore, aku sudah membuang jauh-jauh kemarahan istriku. Aku juga sudah menyimpan kemarahanku tentang cerpen-cerpenku yang tak pernah dimuat oleh siapa pun. Cerpen-cerpenku hanya menjadi santapan istriku, kawan-kawanku, dan diriku sendiri. Hanya anakku saja yang belum bisa menikmati cerpen-cerpenku, karena dia belum bisa membaca. Namun kelucuan, kepolosan, juga kenakalannya justru menjadi sumber inspirasiku.

Kini aku beralih dari kemungkinan yang bakal terjadi dari mulut anakku.
“Ayah, mau?” anakku memegang mangkuk itu dengan kedua tangannya lalu menyodorkan ke arahku. Aku menggeleng.
“Ayah sudah kenyang, ya?” Aku mengangguk, padahal sejak pagi aku dan istriku belum terisi makanan. Dan anakku menarik kembali mangkuk kesayangannya itu. Ia kembali menyantap.
“Ayah sedang menulis apa?” Aku tak sempat menjawab.
“Nulis buat cari duit ya, Yah?”
Aku mengangguk dan terus memperhatikan mulutnya yang lincah dan menyebalkan.
“Tapi kok Ayah nggak pernah dapat duit?”
“Kenapa sih, Ayah harus nulis begituan?, kenapa Ayah tidak jadi tukang ojek saja kaya bapaknya Darma, kan bisa beli sepeda merah yang ada belnya, kaya punya Darma…”
Apa hubungannya tukang ojek dengan aku, penulis cerpen. Anakku tidak mengerti kalau menulis cerpen itu lebih mulia dan hebat. Tapi kapan anakku bisa membeli sepeda? Apakah hal itu hanya akan menjadi tema cerpenku sementara anakku tak pernah mendapatkan impiannya. Di sini, penulis cerpen bukan lagi hebat apalagi pahlawan, tapi penulis cerpen adalah makhluk tak tahu diri.
“Kapan Ayah mau beli sepeda merah buat Ratu?”
“Oh, iya…Ayah mau beli sepeda merah itu kalau Ratu ulang tahun ya, iya kan Yah?”

Kemampuanku hanya mengangguk. Meskipun anakku sudah hafal bahwa janji-janjiku dengannya hanya dipenuhi dengan anggukan, tanpa kenyataan. Tapi anakku tak pernah menyerah. Karena ia sangat yakin bahwa dengan tidak harus menjadi tukang ojek, aku mampu membelikan dia sepeda merah. Tapi kapan?
“Yah, kalau mau beli sepeda merah, Ayah tanya dulu sama bapaknya Darma. Belinya dimana, harganya berapa...terus…nanti sekalian ajak Ratu ya, yah?”

Keyakinan yang muncul dari rasa kejenuhan telah menjadi kebiasaan anakku, juga mungkin anak-anak yang lain. Kejenuhan untuk mendapatkan impian, harapan-harapan tapi tak pernah kesampaian akhirnya berujung menjadi keyakinan semu dalam kesadaran. Anakku tak lagi sadar bahwa impian dan  harapannya itu adalah kesia-siaan.  Kepastian dan ketidakpastian tak lagi berjarak. Ketidakpastian adalah kepastian itu sendiri.
“Ya…habis, kenyang.” Anakku berdiri, mengelus-elus perutnya. Tanpa memperdulikan aku dia berjalan ke belakang dengan membawa mangkuk kasayangannya itu. Aku berharap anakku datang lagi menghampiriku. Inspirasi besar untuk cerpenku belum juga aku dapatkan.

“Ratu mau main ke rumah Darma.” Anakku lari dari dapur menuju ruang tengah lalu menyelinap ke depan. Istriku melompat dari kamar, dan menarik tangan Ratu.
“Sudah maghrib, mau apa ke rumah Darma, lihat, di luar masih hujan !.”
“Mau main sepeda…” Ratu meronta.
“Besok saja, Darmanya sudah tidur, nanti kamu dimarahin bapaknya Darma lho!”
“Tidak mau, tidak mau…,”

Ratu terus berusaha melepas genggaman erat tangan istriku. Ratu menangis. Aku tak paham. Inspirasiku gagal. Aku mendekati Ratu dan berusaha melepaskan genggaman tangan istriku. Aku merangkul Ratu, dan menggendongnya. Istriku berlalu. Kudengar ia pun menangis di kamar. Ia pun sangat terbiasa dengan malam-malam seperti ini. Malam-malam kami adalah malam-malam tangisan-tangisan Ratu. Tangisan tentang penjual mie ayam, tangisan karena gerobak nasi goreng, tangisan demi abang siomay, tangisan untuk batagor, tangisan untuk...segala tangisan yang tidak semestinya.

Aku gendong Ratu dengan pelukan hangat lalu melangkah ke depan. Aku menatap deretan rumah-rumah kontrakan yang lain. Sama-sama sempit, sama-sama pengap. Aku berusaha menggoyang, menimang-nimang Ratu agar tangisannya berhenti. Sementara jauh di dalam dadaku masih terasa sesak. Seperti ada sesuatu yang ingin meledak. Sesuatu yang sangat aku pahami keberadaannya, tapi tak kunjung mampu ku membuangnya.

Kudengar tangisnya mulai reda.
“Ayah benar, kan? nanti mau belikan sepeda buat Ratu?”
Aku mengangguk. Anggukan yang sangat dikenal Ratu, anakku. Anggukan penuh kekecewaan dan tanpa harapan. Tapi anakku masih tak mau menyerah.
“Ayah kok tidak menulis lagi?, nanti Ayah tidak jadi beli sepeda?,” Ratu berbisik terbata-bata karena sisa-sisa tangisnya. Kepalanya ia sandarkan di bahu kiriku. Aku hanya bisa membelai rambutnya. Aku tak mampu membelai perasaan dan kegundahannya.

“Yah, masuk yuk! Ayah harus  menulis lagi. Menulis gituan biar Ayah bisa membeli sepeda merah.”
Kubawa ia masuk. Aku tidak boleh menyia-nyiakan keyakinan dan kepercayaannya pada diriku. Kini gerimis berpindah dalam dadaku. Menetes keras di permukaan jantungku, mengguyur hatiku yang lelah dan kering, membasahi semua jiwa dan ruhku.

Malam ini, aku kembali gagal mendapatkan inspirasi untuk cerpenku. Aku terduduk lemas di atas tikar kusam. Aku masih memangku Ratu. Memangku segala harapan-harapannya, memangku segala mimpi-mimpinya, dan segala ketidakpastiannya.

Aku berharap agar secepatnya Ratu tertidur. Kupandangi wajahnya dan segala kejujurannya. Ratu seperti mengerti permintaanku, ia menguap. Memiring-miringkan kepalanya. Ratu merebahkan diri di sampingku, sama-sama di atas tikar kusam. Dan,
“Ayah, kalau menulis gituan yang banyak, biar……”


***
Ditulis 2001

Dipersembahkan pada 29 Maret 2004
untuk puisi wihdaH
dan sang penjaga hati




Tidak ada komentar:

Posting Komentar