12/07/10

Jika ZAKUMI di Indonesia

Rampung sudah perhelatan akbar Piala Dunia 2010 di Afrika Sholawatan. Buat yang ngedukung Spanyol, seperti saya ini, tentu turut berbahagia. Tak tanggung-tanggung saya menggelar hajatan dan selamatan selama tujuh hari tujuh malam. Mulai dari pagelaran wayang kulit bola, bola api, lomba makan bola, hingga lomba memasukkan bola ke dalam botol.

Semua pendukung tim negeri manapun boleh datang meramaikan. Seperti Amrin Luthfi, keponakanku yang jago main bass ini ternyata mengidolakan Spanyol. Beda lagi dengan Camo, alias Rahmat Hidayat, masih keponakanku juga, ia malah mendukung Belanda yang dulu pernah menjajah negeri yang kemudian diberi judul Indonesia ini. Camo seperti SBY, yang malam itu menyatakan, “Di atas kertas, Belanda lebih unggul.” Tapi SBY lupa kalau pertandingan bola sepak dilangsungkan di atas lapangan. Namanya juga presiden, selalu bicara kertas, dan hal-hal yang terbuat dari kertas.

Sekedar info, pagi ini saya mendapat telepon dari seseorang yang mengaku utusan presiden. Anehnya, saya tak sempat menanyakan siapa namanya, dan apakah benar ia seorang utusan presiden! Entah dari siapa dia bisa mendapatkan nomor ponsel saya. Ah, biarin saja! Yang penting bukan dari siapa nomor ponsel itu ia dapatkan, tapi niat baik apa yang akan ia sampaikan melalui ponsel yang oleh orang Indonesia disebut HP ini.

Bla…bla…singkat kata, inilah penggalan dialog kami (saya dan penelpon yang mengaku orangnya presiden itu). Untuk selanjutnya Orangnya Presiden itu saya singkat menjadi OP.

OP: “Selamat Pagi, Wong…”
Wong: “Pagi…Siapa ini?”
OP: “Ah, tak penting kamu tahu siapa aku. Tapi asal kamu tahu, aku adalah OP.”
Wong: “Ohya? Ada urusan apa sampean telepon saya. Sampean ndak tahu kalau saya masih ngantuk karena semalam nonton final?”
OP: “Iya, saya tahu. Saya mohon maaf. Tapi ini penting banget, Wong. Apalagi ini permintaan beliyau. Saya ini, kan OP.”
Wong: “Yo wis karepmu. What yang kamu want?”
OP: “Menurut petunjuk beliyau, saya harus ngontak anda.”
Wong: “Lho iya, ini sampeyan telah sedang mengontak saya. Sekarang opo karepmu mengontak saya ini.”
OP: “Begini. Apa yang akan saya sampaikan ini berkaitan dengan Sepak bola kita…”
Wong : “Terus..?”
OP: “Ya saya ini, diminta beliyau untuk mencari informasi dan pendapatan-pendapat yang futuristik mengenai persepakbolaan di tanah air.”
Wong: “Terus..?”
OP: “Nah, di antara orang yang termasuk dalam daftar presiden untuk dimintai pendapat itu adalah sampeyan. Begitu, lho!! Iiiggh…cape dehh..”
Wong: “Kenapa harus saya?! Bukankah masih banyak para ahli, para pengamat, para praktisi bola sepak di negeri ini? Aku ini bisa apa?” Syarat rukun Offside saja aku ndak paham!”
OP: “Justru itu. Beliyau akan minta pendapatan, eh pendapat dari siapa saja. Termasuk minta pendapat pada orang yang sama sekali tidak ahli seperti kamu ini, Wong! Memangnya aku mau telepon kamu pagi-pagi ngomongin bola yang jelas-jelas kamu kagak menguasainya!”
Wong: “Lho! Kok ente ngomongnya jadi kagak enak gitu. Biasa aja dong. Memang siapa yang mau ngasih pendapatan ke presiden soal sepak bola? Masih mending ngasih pendapatan buat yatim piano.”
OP: “Sorry, Wong. Ini karena saya sudah telepon banyak orang. Ada sekitar lima juta orang yang sudah saya telepon. Dan kamu ini sekarang orang yang ke lima juta tujuh ratus ribu delapan puluh empat orang. Dan Cuma kamu yang bawel! Sorry ya, Wong. Ayo dong kasih pendapatmu gimana caranya sepak bola di negeri ini bisa maju.”
Wong: “Bilang dong dari tadi. Begini,…tolong catat! Dan sampaikan pada semua. Ini pendapat dari orang yang sama sekali tidak ahli dalam bola. Tapi setidaknya saya tahu persis bagaimana rasanya meneriakkan GOOOOOL!!!, ketika gol benar-benar terjadi.”
OP: “Saya mulai mencatat, Mas.”
Wong: 1) Lebih Keren mana lapangan sepak bola kita dengan lapangan golf? 2). Lebih keren mana menjadi bintang sepak bola dengan artis sinetron? 3). Apa bedanya para ketua partai kita dengan ketua klub sepakbola kita? 4). Bagaimana kamu bisa membedakan mana bendera klub dengan mana bendera partai? 5). Apa bedanya kompetisi sepak bola kita dengan Pemilukada di daerah? 6). Apa bedanya…”
OP: “Sorry, Wong. Yang mestinya nanya itu saya. Kenapa malah sampeyan yang ngasih pertanyaan bertobe-tobe?!”
Wong: “Lho, katanya pendapat? Pendapatku boleh, to kalau aku sampaikan dalam bentuk pertanyaan? Boleh, kan?”
OP: “Ya, boleh-boleh saja. Tapi siapa yang mau ngejawab?”
Wong: “Oh, Ini pertanyaan yang nggak perlu dijawab apalagi dipusingkan. Bukankah Indonesia sudah biasa mengabaikan pertanyaan dan aspirasi orang-orang kecil?”
OP: “Ya sih. Tapi ini saya mesti nelpon ke yang lain. Saya Cuma mau tanya, kira-kira langkah apa yang mesti dilakukan supaya Sepak Bola di Indoshiwa ini muaju! Itu aja. Simple, kan?”
Wong: “Okeh! Catat, ya! Pertama. Tiap partai harus punya klub sepak bola sendiri. Karena partai kita sudah banyak maka sekalian saja masing-masing partai bikin klub sepak bola. Tiap partai juga harus punya stadion yang keren, yang berstandar internasional.”
OP: “Terus?”
Wong: “Kalau tiba musim pemilu, biarkan hasil pemilu itu ditentukan oleh pertandingan di lapangan. Jadikan para anggota KPU sebagai para wasit yang ‘adil dan beradab. Jadikan polisi dan tentara sebagai pengaman di dalam dan luar lapangan. Jadikan para pendukung partai sebagai supporter yang selalu siap menerima menang dan kalah.”
OP: “Lho, tapi kalau main bola kan mesti orang yang umurnya muda. Gimana bisa, kalau kita lihat para pemimpin partai kita itu banyak dari kalangan tua.”
Wong: “Yang tua harus legowo untuk jadi pelatih atau penonton saja. syukur-syukur nonton dan berdoa di rumah. Biarkan yang muda yang beraksi.
OP: “Wah, kalau begitu berarti nanti harus ada dana sosialisasi pemain, latihan pemain, biaya pelatih, konsumsi penonton, rokok buat pemain, uang jajan pemain, biaya study banding ke klub-klub luar negeri, sampai perawatan rumput, toilet, hingga bikin seragam, dong?”
Wong: “Ya jelas ada. Tapi itu tanggung jawab partai masing-masing. Kalau nggak sanggup, bikin klub bola bekel aja, atau main congklak.”
OP: “Kalau ada pemain atau klub yang curang?”
Wong: “Partai atau klub tadi tidak boleh main lagi, sampai tiga musim kompetisi yang akan datang. Dan ini disiarkan di seluruh TV di tanah air. Dan yang penting lagi, hapuskan penyiaran sinetron. Semua siaran TV harus diganti tentang sepak bola. Setiap hari yang harus disiarkan adalah sejarah bola, berapa ukuran bola, ukuran lapangan sepak bola, filsafat bola, psikologi bola, berapa jumlah pemain yang boleh ikut, bagaimana teknik-teknik pemain asing, juga laporan harta kekayaan para pemain bola, hingga rencana lapangan akan ditanam apa kalau tidak ada musim kompetisi. Apakah mau ditanam jagung, padi, bawang? Disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.”
OP: “Itu systemnya bagaimana?”
Wong: “Kompetisi bola antar partai dimulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi sampai tingkat nasional. Klub mana pun yang menang, boleh menduduki istana dan senayan.”
OP: “Maaf, ya Wong. Saya sudah tidak punya waktu untuk melanjutkan omong kosong ini. Intinya, saya sudah paham. Saya sekarang punya inspirasi baru, sepak bola di tanah air ternyata bisa jadi lahan basah buat korupsi! Maksud kamu gitu, kan?” Tengkyu!!
PRAK!!! Dari jauh ponsel si OP terputus.

Ah, kok dia bikin kesimpulan cepat begitu. Aku belum juga bilang, kalau maskot piala dunia Afrika Selatan itu Zakumi, maka maskot piala Dunia di Indonesia adalah TUYUL!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar