15/04/11

Orang Baik Vs Orang Pintar

“Saya sangat bersyukur, akhirnya anak saya diterima di sekolah internasional. Saya sangat lega, karena masa depan nanti, adalah masa yang penuh tantangan. Dan saya sangat yakin, sekolah internasional ini sangat tepat untuk menyiapkan generasi mendatang. Karena, di masa datang, anak saya harus mahir berbahasa asing, harus mengerti tradisi dan kebiasaan asing. Karena masa depan adalah masa depan yang asing.”
:: Dengan sedikit dipelintir, itulah kira-kira ungkapan orangtua perihal anaknya yang baru saja diterima di sebuah sekolah internasional.

Tentu di antara kita masih ingat bagaimana orang tua punya harapan terhadap masa depan anak-anaknya. Biasanya, si anak selalu digadang-gadang agar kelak tumbuh-kembang menjadi anak pintar, sukur-sukur jadi dokter atau jadi insinyur. Seakan, kepintaran anak adalah segalanya. Sehingga, pencapaian gelar dan jabatan, menjadi ukuran keberhasilan pendidikan anak.

Kita pun lebih bangga jika memiliki anak dengan nilai tinggi, peringkat memuaskan, tanpa peduli darimana mereka mendapatkan nilai sebagus itu. Kita tak perlu tahu apakah anak kita menyontek, atau cara-cara curang yang lain. Tapi kita tidak pernah melihat mereka sebagaimana mereka. Kita juga tidak peduli apakah anak kita nakal di sekolah, memukul temannya, atau kenakalan anak kecil lainnya.

Dengan enteng kita mengatakan, “Namanya juga anak-anak.” Apalagi muncul satu pandangan umum, “Nakal tidak masalah, yang penting anak kita pintar. Kita pun lalu mafhum, bahwa kenakalan menjadi ciri anak yang punya akal, ciri anak yang kemudian akan menjadi pintar. Bahkan, orangtua semakin bangga jika anak-anaknya diterima di perguruan tinggi bergengsi, terlebih sekolah tinggi di luar negeri. Apalagi jika anak-anak itu berhasil memasuki jurusan tertentu, hingga kemudian memasuki dunia kerja tertentu. Semua selalu berkaitan dengan pencapaian status sosial. Di sini, secara tidak langsung kita sudah memasukkan gagasan materialisme kepada anak kita.

Satu kasus kecil sempat berlangsung. Ketika itu seorang bocah yang belum genbap berusia enam tahun harus ikut ujian masuk SD standar Nasional. Singkat kata, pada hari itu, ujian tertulis dilaksanakan. Satu persatu anak yang sudah menyelesaikan tugasnya keluar dari kelas. Setiap orangtua yang menanti di luar, didera harapan dan kecemasan. Waktu terus berlalu, sementara Si bocah satu ini belum juga keluar. Sang orangtua pun makin cemas, mengingat waktu ujian tertulis hampir usai. Tak lama kemudian, si bocah lucu itu keluar dengan wajah yang lelah.
“Kenapa kamu baru keluar, sayang? Apakah kamu tidak bisa mengerjakan soal-soal tadi?” Si orangttua mencoba menutupi kepanikannya sendiri.
“Tidak. Aku bisa mengerjakan, tapi tidak semua.” Dengan rasa takut si bocah menjawab. Tentu saja si orang tua agak kesal, lalu memburu,
“Kenapa?!  Kenapa kamu tidak mengerjakan semuanya?!”
“Tadi, aku membantu temanku yang kesulitan membuka kotak pensil. Terus, teman di sebelahku tidak punya pensil, jadi aku pinjamkan lebih dulu padanya. Aku mengerjakan setelah temanku selesai mengerjakan.” Si anak menjelaskan sambil berkaca-kaca karena semakin takut. Sementara si orangtua sudah membayangkan kalau si anak dipastikan tidak diterima di sekolah dasar berstandar nasional itu. Dan nyata memang, di waktu pengumuman tiba, bocah yang sok penolong itu pun tidak tercantum di daftar siswa yang diterima. Si orangtua bergeming, ia hanya bisa memeluk anaknya penuh haru.
“Anakku, terimakasih. Kamu telah mengajarkan kepedulian kepadaku. Kamu telah mengajarkan tentang menolong pada sesama, aku bangga karena kamu tidak mementingkan dirimu sendiri.” Mereka pun larut dalam pelukan kasih. Dan sekali lagi, ini adalah kisah nyata.

Dari paparan cupu alias jayus di atas, kita mungkin bisa saja mengatakan, “Mencetak anak pintar memang gampang, yang susah adalah mencetak anak yang baik.” Tentu saja, apa yang ingin disampaikan di sini, bukan tawaran metode, apalagi upaya mereduksi pada persoalan kecerdasan emosional dan spiritual. Bagi penulis, kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) juga banyak menyisakan masalah, terlebih kecerdasan intelektual (IQ).

Mendidik atau Memupuk Ego?
Jika melihat pendidikan nasional, kita menemukan betapa pendidikan kita sangat kering dari spirit budi pekerti. Pun misalnya ada, tetap saja diukur dari pencapaian fisik dan material. Penilaian kebaikan anak di dalam raport sekolah, misalnya, selalu dilihat dari bagaimana cara anak berpakaian. Anak yang baik adalah anak yang berpakaian rapi, bersepatu bagus, hingga rambut yang disisir rapi. Apakah benar, kebaikan seseorang terletak pada pakaian yang ia kenakan?

Sebagai guru, seringkali muncul penilaian yang selalu hitam putih. Ketika anak terlambat masuk kelas, si anak langsung dihukum dan diganjar. Kita tidak pernah tahu, jika si anak di rumah harus membantu adiknya, atau mungkin mendorong mobil yang mogok, atau mungkin juga membangun jembatan karena semalam dihantam banjir. Kita juga semakin mendukung terhadap kelangsungan pemahaman bahwa yang pintar adalah segalanya. Misal saja, “Lihatlah si Fulan. Sekarang dia diterima di perguruan tinggi Anu. Hebat, bukan?” “Cobalah contoh si Fulanah, padahal dulu di sekolahnya nakal, tapi sekarang sudah jadi anggota dewan.” Inikah contoh-contoh yang tepat untuk anak-anak kita?

Kalau mencari orang pintar, rasanya di sekitar kita sangat banyak. Berkuintal-kuintal! Apalagi kalau kita mau menelusuri para pelaku tindak korupsi, hampir dari mereka adalah kaum pintar yang tak hanya menyelesaikan sekolah di tingkat atas, tapi bahkan sampai perguruan tinggi dan doktoral. Lihat saja para koruptor yang menjabat sebagai bupati, gubernur, menteri, anggota dewan, bahkan yang menyandang gelar kyai. Kurang pintar apa mereka?

Menurut hemat penulis, selagi pendidikan kita masih menggunakan ego (keakuan) sebagai perangkat utama, maka kesadaran otentik pada anak semakin jauh dari harapan. Saya ingat bagaimana para kyai di kampung mengajarkan segalanya kepada para santri dengan ketulusan. Mereka mengajarkan langsung tentang bagaimana hidup sederhana, mereka memberi contoh langsung bagaimana kepekaan, kepedulian, hingga rasa cinta kasih. Bahkan tak jarang dari mereka, setiap malam bangun untuk bermunajat, demi kebaikan santri-santri mereka. Tentang hal ini, ada kisah nyata yang menarik.

Suatu ketika, sekali lagi ini kisah nyata, seorang ustadz menangis di hadapan para santrinya, ketika mendapati nilai yang diperoleh santri-santrinya sangat rendah. Maklum saja, materi pengajian yang ia sampaikan adalah Ushul Fiqh, satu disiplin yang oleh sebagian orang dianggap rumit. Lalu apa ungkapan si ustadz itu? Dengan rendah hati dia berkata, “Ya Allah, apakah ini karena saya tidak ikhlas mengajar mereka, sehingga mereka tidak bisa menyerap ilmu yang saya sampaikan? Apakah saya terlalu sombong dan berharap akan kecerdasan mereka, padahal mereka memiliki keunikan masing-masing?”

Baik yang Dikondisikan
Menurut hemat penulis, kebaikan atau ketulusan tak bisa terwujud melalui pengondisian atau bahkan dicetak. Kalau pun memang mereka berbuat baik seperti membuang sampah pada tempatnya, disiplin, tepat waktu, bicara yang sopan, tertib, dan seterusnya adalah kebaikan yang disebabkan, atau kebaikan yang dikarenakan. Penyebab dan penunjangnya bisa banyak hal untuk disebutkan, mulai dari ancaman sangsi, hukuman dan pengusiran, hingga kecaman dan hukuman dari ranah sosial. Bila kebaikan itu yang dimaksud, yakni kebaikan yang dilakukan karena khawatir mendapatkan sangsi maka kebaikan yang muncul bukanlah kebaikan otentik.

Untuk hal ini, penulis kebetulan berkesempatan mengisi satu acara outbond di Citarik, Sukabumi selama dua hari. Lima hari sebelumnya, para peserta digembleng kedispilinan oleh beberapa wakil dari Marinir. Tentu kita bisa membayangkan bagaimana peserta berbaris, bagaimana mereka dibagi dalam barisan pleton dan regu. Di sana juga bisa dilihat, bagaimana mereka makan, hingga bagaimana mereka menuju tempat tidur dan bangun dari tidur. Semua diukur dengan ketepatan waktu. Memang penulis akui, semua terlihat kompak, seragam, dan “disiplin.” Tapi apakah itu kedisiplinan yang hakiki? Apakah kedisiplinan pribadi dapat dibentuk (dikondisikan) melalui tekanan dengan aneka hukuman, terlebih direduksi dalam hal baris-berbaris?

Kalau memang disiplin model baris-berbaris adalah milik militer dan juga kepolisian, lalu kenapa di antara mereka seringkali menjadi contoh dari tindak indisipliner? Tentu kita ingat bagaimana kejadian di jalan raya. Tak jarang kita saksikan, mereka yang berseragam, melanggar tata tertib lalu lintas, misalnya, dengan enak hati menerobos lampu merah, menaiki trotoar, membunyikan klakson dengan tidak sabar. Sebagai pelengkap, akhirnya, penulis pun sempat menyaksikan: sebuah sedan dengan plat nomor militer, yang penulis pastikan berpangkat semacam jenderal. Dari jendela kaca yang mahal itu, tampak menjulur keluar tangan kekar dengan arloji maskulin, lalu dengan cantik membuang sampah kertas, tak jauh dari lampu merah. Jendela kaca pun kembali tertutup dengan otomatis. Itukah kebaikan otentik? Itukah ciri manusia beradab? Untuk pembahasan ini, sudah basi kalau kita punya alasan, tergantung orangnya masing-masing.

Akhirnya, penulis hanya bisa berandai-andai. Andai saja pendidikan budi pekerti adalah pendidikan yang bukan menceritakan, bukan mengajarkan, atau pun menunjukkan, tapi pendidikan yang melibatkan. Andai saja pendidikan bisa berangkat dari kesadaran batin layaknya para master Tai Chi, atau pesilat Bangau Putih yang menyadari gerak batin. Andai saja pendidikan itu seperti pemain drama yang telah mengalir bukan karena kungkungan bentuk, tapi gerak naluri dari dalam. Andai saja, pendidikan yang berlangsung bukan diselenggarakan oleh pabrik-pabrik dan industri-industri yang sok mampu mencetak pribadi berkarakter, namun diselenggarakan oleh pribadi ikhlas yang setiap saat berdoa akan kemanfaatan para muridnya. Andai saja, pendidikan hebat bukan diukur dari mahalnya SPP dan uang gedung, tapi dari kerendahan hati para guru dan orangtua. Andai saja…orangtua lebih mendamba anaknya berbudi, daripada anaknya pintar.

Jika engkau hanya bercerita,
pasti ia akan lupa
jika engkau menunjukkan padanya,
mungkin saja mereka akan ingat
tapi jika engkau melibatkan mereka,
pastilah mereka akan memahami…


:: kelapaIIwetanciracas’150411::
wongdzolim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar