17/05/10

Malam Lalu

Malam itu, kami termangu.

Kami duduk-duduk berdua, bernaung pada langit yang sama, ditiup udara dan rasa dingin yang sama. Meski dingin mengalir dan merambat di sekujur tubuh, tapi kami tak lelah membincang sang kekasih. Ia jauh tapi sangat dekat, Ia dekat tapi bisa dirasa jauh. Tapi bukan itu persoalan kami. Satu hal yang menjadi kegundahan kami adalah bagaimana meladeni segenap rasa yang seringkali datang silih berganti. Setelah sekian hembusan nafas, kami kembali berbincang.

Wong: “Apa yang kamu pahami tentang rasa sedih, rasa kecewa, rasa merana, hingga rasa menderita?”
Reno: “Bagaimana aku bisa menjelaskan rasa? Bukankah rasa hanya bisa dirasa? Ia sangat rahasia, maka tentu tak bisa dikata?”
Wong: “Benar, tapi seperti kata Harry Aveling, kadang Rahasia juga membutuhkan kata. Karena kita masih hidup di sini, di bumi ini, kehidupan yang masih menggunakan bahasa dan kata. Lalu bagaimana kau jelaskan apa yang dimaksud dengan rasa sedih itu?”
Reno: “Tentu saja segenap rasa yang tidak enak bahkan perasaan yang menyakitkan hati.”
Wong: “Lalu bagaimana kau bisa jelaskan tentang rasa bahagia? Rasa gembira? Rasa-rasa yang menyenangkan?”
Reno: “Tentu saja kebalikan dari semua rasa sedih. Rasa gembira adalah segenap rasa yang dapat mengenakan hati.”
Wong: “Jadi semua rasa itu ada dalam hati?”
Reno: “Benar, Saudaraku.”
Wong: “Baiklah. Kalau begitu, sang hatilah yang menjadi gara-gara. Hati ternyata yang menjadi muara itu semua. Sang hatilah yang ternyata punya segala macam rasa itu. Artinya, dalam hati ini menyimpan segenap rasa baik yang kau sebut enak atau yang kau sebut tidak enak. Sekarang mari kita coba, buang sedih dan gembira. Kita hanya gunakan rasa. Kira-kira apa yang ada?”

Lalu Diam menjadi bahasa kami.

Malam masih menaungi kami. Diam adalah muara akhir dari upaya mencari rasa. Reno sudah mulai menyadari, tapi rupanya masih ada sedikit ragu pada soal rasa cinta dan benci. Aku kemudian menyarankan pada Reno untuk mendatangi seorang guru. Maka malam itu kami segera melesat jauh ke angkasa. Dengan sekejap mata kami tengah berada di jantung kota Fez. Di sana kami menemui seorang pria bersahaja namun sungguh memiliki kedalaman ilmu bak samudera. Setelah kami menyampaikan salam, dengan santun ia berpesan,

“Cobalah kalian ikuti permainanku. Untukmu, Wong...mulai sekarang gunakan rasa benci dalam hatimu. Bencilah seluruh apa yang kau lihat dan kau saksikan. Jangan pernah gunakan segala rasa selain rasa kebencian. Dan untukmu, Reno...mulai sekarang gunakan rasa cinta yang ada dalam dadamu. Tebarkan rasa cintamu itu kepada seluruh semesta dan isinya. Bila kalian berdua telah mengikuti permainanku itu, datanglah kemari lagi untuk segera kita bincangkan. Ohya, 40 hari ke depan, aku berada di Sevilla. Datanglah ke sana.”

Kami mengangguk dan setelah mencium tangannya, kami pun pamit undur diri. Asslamu'alaikum Ya, Ibn Arabi. Dia menjawab salam sambil tersenyum lalu pergi entah kemana lagi. Kami kembali, dan malam masih mengulum jagat. Sebentar lagi fajar menjelang. Kami duduk bersila memeluk keheningan malam. Sepi.

***

Ren, jalan itu memang sungguh lurus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar