02/05/10

DOA KEPALSUAN??

Sinar matahari mulai masuk ke dalam kamarku melalui celah jendela yang masih tertutup. Kudengar istriku sedang menyapu pelataran. Tapi aku masih bermalas-malasan untuk sekadar bangun dari tempat tidur. Pandanganku menerawang ke atas, menatap langit-langit kamar. Tapi entah mengapa, pagi ini terasa berbeda. Begitu aneh dan terasa asing. Burung yang biasa berteriak di pelataran rumah juga seperti terdengar tidak biasa. Bahkan udara yang kuhirup dan mengalir dalam paru-paruku terasa hambar. Sebenarnya ada apa ini? Apakah ini karena sisa-sisa sakit yang kemarin menimpaku? Rasanya kemarin hanya masuk angin biasa. Atau mungkin karena usiaku yang sudah makin renta? Ah, rasanya aku belum terlalu tua, apalagi untuk membayangkan ke sana. Sebuah kematian. Tidak, kedua anakku masih membutuhkan tenagaku. Setidaknya setelah mereka merampungkan sekolah, aku rela bila dipanggil Sang Pencipta. Entahlah, Tuhan. Rasanya aku begitu yakin, Engkau masih memberiku kesempatan.


Sekejap aku menutup mata, dan menarik nafas dalam-dalam.  “Ya, Allah. Pekerjaanku...,” aku bergumam lirih. Aku menggeleng dan entah mengapa tiba-tiba aku merasa semangat untuk bangun dari tempat tidurku. Tapi entah untuk apa? Aku keluar dari kamarku dan melangkah ke depan rumah. Aku masih penasaran dengan suasana pagi ini, aku mengawali kesibukan hari dengan bertanya kepada istriku yang masih menyapu halaman rumah.
“Bu, ini hari apa, sih? Kok rasanya beda, ya?” Sambil membenahi sarung yang agak kedodoran aku menyapa istriku. Rupanya dia tidak menyadari kedatanganku. Ia terkesiap setelah mendengar suara dehemku.
“Oh, bapak. Sudah bangun, to. Bapak kan masih panas? Istirahat lagi aja, Pak.” Istriku seketika menghentikan pekerjaan menyapunya lalu ia kembali melanjutkan.
“Nggak, kok. Bapak sudah baikan. Bu, tadi bapak tanya. Ini hari apa? Kok bapak merasa aneh, ya?” Suaraku agak kencang dan sekarang aku duduk di kursi teras rumah.
“Ini hari Selasa, Pak. Memang kenapa?” Istriku menjawab tanpa menoleh sedikitpun, karena dia tengah serius memasukkan sampah ke dalam pengki.
“Entahlah, Bu. Ayah merasa aneh saja. Ohya, kalau tidak salah sudah lima hari bapak tidak masuk kerja. Hari ini bapak berangkat ya, Bu.”
“Lima hari? Bapak itu sudah delapan hari ndak ke kantor. Piye, to?” Istriku datang menghampiriku. Rupanya ritual menyapu halaman rumah baru saja usai. Aku hanya diam mengernyitkan dahi, mencoba meyakini delapan hari yang diyakini istriku.
“Ya sudah, Pak. Kalau memang mau ngantor hari ini, ibu masak air panas buat mandi, ya? Mumpung baru jam tujuh, jadi bapak masih punya waktu untuk berangkat.”
“Bu, si Halimah mana?” Aku mengalihkan obrolan.
“Halimah sudah berangkat sekolah. Hari ini dia ujian akhir. Tadi mau pamit, tapi bapak masih tidur. Katanya kasian kalau nanti malah mengganggu bapak. Dia titip salam dan minta doanya.” Istriku melangkah masuk ke dalam rumah.
“Mukhlis juga sudah berangkat, ya?”
“Ya...” Istriku menjawab dari dalam rumah. Aku kembali menahan nafas dalam-dalam.

Oh Tuhan, Halimah anakku, kamu sudah besar. Sebentar lagi kamu lulus SMU. Seperti impianmu sejak kecil, kamu ingin sekali menjadi guru. Tapi apa aku mampu membiayai kuliah putri yang kusayangi itu? Sementara usia pekerjaanku sudah berakhir delapan hari yang lalu. Semua anak dan istriku tidak tahu kalau sakit yang aku derita karena rasa bingung yang menyerangku. Entah mengapa aku harus berbohong kepada mereka. Rasanya tak mungkin aku menyampaikan kepada istriku kalau aku baru saja di-PHK. Tentu mereka bukan hanya kaget, tapi mungkin juga kecewa. Wajah Halimah yang kian dewasa membayang di hadapanku. Begitu juga wajah Mukhlis yang masih duduk di SD kelas lima itu. lucu dan penuh semangat. Dan istriku, wajahnya sangat jelas tersenyum lembut dalam layar harapanku yang hanya kurasakan sendiri. Tanpa sadar aku meneteskan air mata. Oh Gusti, berikan hamba-Mu yang lemah ini satu kekuatan untuk menghadapi dan menjaga amanat-Mu.

“Pak, ini airnya sudah siap,” Suara istriku yang terdengar dari ruang belakang membuyarkan lamunanku yang sudah berkelana entah kemana. Dengan memegang pinggang yang masih terasa linu, aku berjalan ke belakang. Sambil berjalan gontai aku memiringkan kepala dan sedikit memutar leherku. Rasa pegal-pegal di sekujur tubuhku belum juga berlalu. Di dapur terlihat istriku sedang menyiapkan teh panas untukku. Begitu istriku melihat aku memasuki ruang dapur, dengan gesit ia mengambil handuk di gantungan dekat pintu kamar mandi. Dengan lembut dia memberikan kepadaku.

“Itu air panas sudah saya campur di bak mandi. Nanti keburu dingin lagi, lho.” Istriku kembali berlalu melanjutkan kesibukannya di dapur. Aku hanya tersenyum kecil dan segera masuk ke kamar mandi. 
Itulah pagi yang menurutku aneh tapi tak bisa aku jelaskan. Sejak kecil aku hidup sebagai santri di sebuah pondok pesantren, aku sudah terbiasa dengan hidup disiplin, jujur dan apa adanya. Maka ketika sedikit saja aku berbohong, rasanya aku sudah tak lagi berarti. Tapi pagi ini aku seakan memikul sebuah karung kebohongan. Dan entah sampai kapan karung kebohongan ini mesti aku pikul dan aku tutup rapat-rapat. Sebenarnya mudah untuk menyampaikan pada istriku kalau aku baru saja di-PHK. Toh aku tidak salah. Semua tahu kalau aku tidak korupsi. Aku hanya menjadi kambing hitam dari atasanku saja. Dan dengan gaya sok bijak, atasanku yang biasa jadi khatib di masjid itu memberi kelonggaran hati untuk memberhentikanku dengan tidak hormat. Sebenarnya aku ingin melawan. Tapi bagaimana aku bisa melawan, sementara semua bukti jelas menyatakan aku bersalah. Aku sangat bodoh, mengapa waktu itu aku mau menuruti perintah atasanku untuk menanda tangani sebuah surat pengajuan anggaran. Padahal tempat aku bekerja adalah lembaga terhormat. Sebuah Kantor Urusan Agama (KUA). Sudahlah, mungkin sudah suratan kalau aku menjadi orang yang kalah.

Teh panas hampir habis. Nasi uduk dan kerupuk juga sudah tak ada sisa. Baju dinas yang biasa aku kenakan ke kantor telah disiapkan istriku. Aku semakin tersayat saja rasanya. Antara ragu dan malu untuk kembali mengenakan seragam safari yang biasanya aku pakai ke kantor di dekat kecamatan itu. Aku malu bukan lantaran telah berbohong pada istriku saja, tapi juga malu pada lembaga yang konon mulia tapi ternyata korup tidak terkira.
“Ini, Pak. Nanti terlambat lho. Bapak kan sudah lama ndak ngantor.” Istriku menyemangatiku. Sebuah semangat yang diberikan pada kepalsuan. Dengan rasa malu yang menyergah dalam dada, aku mulai mengenakan seragam safari itu. Aku berusaha wajar agar istriku tak curiga padaku. Setelah kusisir rapi rambutku aku mengampiri sepatu hitam yang rupanya sudah disemir. Mungkin oleh Halimah atau Mukhlis kedua anakku itu. Aku makin tersenyum kecut. 

Ketika aku menyalakan Vespa butut yang umurnya melebihi anakku Halimah, istriku keluar dari kamar dan seperti biasa menghantarkan kepergianku. Istriku terlihat segar karena baru saja usai mandi pagi. Wajahnya yang kini mulai nampak berkerut, makin menua seperti aku, tapi tak membuat cintaku ikut berkerut. Dadaku tergetar seperti ingin mengatakan, “Istriku, maafkan kalau aku berbohong padamu. Tapi, aku belum siap untuk mengatakan semua.” Dan entah mengapa istriku seakan mengangguk. Tentu saja bukan mengangguk karena mengerti perasaanku. Tapi anggukan ritmis karena kesyahduan melepas aku, sang suami yang akan kembali mengarungi hidup.
“Bu, saya berangkat, ya?” Aku kini sudah naik di atas Vespa biru tua.
“Hati-hati ya, Pak.” Istriku menghampiri sambil menjulurkan tangan untuk menjabat dan mencium tanganku. Sentuhan bibir istriku ketika menyalamiku membuat darahku berdesir. Darah kejujuran yang kini telah dipenuhi kebohongan. Dengan ucapan salam singkat aku pun berangkat. 

Di sepanjang jalan aku seperti tak punya kendali. Jarak tempuh dari rumah ke kantorku sebenarnya hanya 7 kilometer. Sehingga dengan Vespa butut ini aku bisa mencapai kantor hanya dalam waktu kurang lebih setengah jam. Ketika aku hendak melintas sebuah jembatan yang memisahkan kampung Karangsembung, aku dihentikan oleh sebuah iring-iringan jenazah. Rupanya ada orang meninggal. Sekitar puluhan orang berjalan ikut mengiringi persis di belakang keranda yang dipanggul delapan orang. Aku tergoda dengan seorang bocah seusia Halimah yang sedang memegang payung hitam. Hanya saja dia seorang laki-laki. Semua tertunduk layu karena melepas kepergian orang yang mereka cintai. Entah bisikan apa yang membuatku urung melanjutkan perjalanan. Setelah iring-iringan itu mulai masuk ke areal pekuburan, aku memarkir morotku di samping tembok kuburan itu. Persis di bawah sebuah papan yang bertuliskan TAMAN PEMAKAMAN UMUM (TPU) DESA KARANG SEMBUNG.

Tanpa sebuah perintah atau komando, aku mengikuti iring-iringan jenazah tadi. Seragam safari dengan sepatu hitam yang baru saja disemir anakku, tak lagi aku hiraukan terkena genangan air di tanah. Aku terus berjalan perlahan melintasi beberapa batu nisan. Aku mencari tempat yang cukup nyaman dan tak jauh dari jenazah itu dimakamkan. Persis di bawah pohon kamboja rindang, aku duduk di atas sebuah batu yang tidak terlalu besar. Dari situ aku mengikuti prosesi pemakaman yang berlangsung dengan khidmat. Aku masih bertanya-tanya dalam hati, mengapa aku mengikuti iringan jenazah ini? Apakah karena aku tak punya tujuan pasti? Atau mungkin hanya mengisi kekosongan hatiku yang masih ragu mau melangkah ke mana?

Rupanya pemakaman hampir usai. Dari kejauhan, aku mendengar seseorang dengan suara parau membacakan sebuah doa. Dari cara ia membacakan doa, dipastikan ia sudah cukup renta. Aku sedikit mengangguk, karena aku sangat hafal dengan doa-doa itu. Bukan hanya hafal lafaz-lafaznya, tapi aku pun sangat mengerti artinya. Itu adalah doa talkin yang sejak dulu di pesantren, aku sudah menghafalnya di luar kepala. Tak sadar aku tenggelam dalam alunan doa talkin tadi. Sampai aku tak menyadari ketika para pelayat satu per satu meninggalkan tempat pemakaman itu. Hanya beberapa orang saja yang masih menunggu di dakat pusara. 
“Mungkin mereka salah satu dari keluarga yang meninggal,” batinku mencoba menebak. Sebelum aku menyadari betapa aku sedang berada di tengah pekuburan, aku dikejutkan oleh seseorang yang menyapaku.
“Assalamu’alaikum,” dia datang dari arah samping kiri. Aku tidak menyadari kalau dia sudah berada di dekatku sambil menyodorkan tangan untuk menyalamiku. Aku pun terkesiap dan terbangun untuk menjabat tangannya.
“Wa’alaikum salam...” aku menjawab agak gugup tapi tetap terkendali. Aku tatap wajah lelaki tua yang tampak bersahaja dengan mengenakan sebuah peci hitam meski mulai agak luntur. Mungkin terlalu sering tersengat sinar matahari.
“Apa bapak saudara dari yang meninggal juga?” Si Tua memulai pertanyaannya padaku.
“Oh, Bukan. Saya kebetulan lagi lewat.” Aku mencoba menjawab sebisaku.
“Begitu, ya. Bapak ini baik sekali. Ada orang meninggal mau dengan suka rela datang melayat. Padahal bapak bukan saudara ataupun sahabat almarhum.” Dengan rendah hati si Tua sedikit memujiku. Melihat suasana yang sudah mulai cair aku segera mengenalkan diri,
“Maaf, nama saya Abdul Majid. Saya tinggal tak jauh dari kampung ini, Pak. Kalau bapak siapa, ya?”
“Oh, saya Salim. Orang-orang di sini memanggil saya Ki Salim. Ayo main ke rumah saya. Rumah saya dekat lho dari sini.” Tawaran dari Ki Salim seakan sebuah dadung raksasa yang tak bisa aku tolak. Padahal aku tak mudah untuk menerima ajakan orang, apalagi pada orang yang baru saja aku kenal. Tapi entah dengan ajakan Ki Salim kali ini. Aku seperti tekena hipnotis saja. 
“Nanti saya merepotkan Ki Salim,” Aku mencoba berbasa-basi. Tapi basa-basi yang aku gunakan rupanya sudah terbaca oleh Ki Salim. Dia pun menepuk punggungku pelan. Dan dengan sedikit membungkuk aku berjalan mengikuti langkah Ki Salim. Hingga sampailah aku di rumah Ki Salim yang bersebalahan dengan musholla kecil. Sampai sore kami mengobrol di rumah Ki Salim. Kami hanya berhenti ketika makan siang, atau ketika kami harus menunaikan shalat zuhur dan ashar. Aku tak paham bila pertemuanku dengan Ki Salim saat itu, adalah pertemuanku yang pertama sekaligus yang terakhir.

Keesokan harinya persis ketika aku masih berpura-pura berangkat ke kantor, aku kembali menemui iring-iringan jenazah. Entah mengapa kali ini hatiku demikian gundah. Seakan aku mengenal benar siapa sosok jenazah yang terbujur kaku di dalam keranda bertutup kain hijau yang bertuliskan arab itu. Aku pun segera memarkir Vespa di tempat biasa. Tapi kali ini aku agak susah menempatkan motorku. Maklum para pelayat kali ini cukup ramai. Dari berbagai arah yang berbeda orang-orang merangsek ke dalam kuburan seperti ingin melepas kepergian seorang tokoh yang mereka kagumi. Aku mencoba bertanya kepada salah seorang pelayat yang juga sama-sama tengah berjalan menuju ke dalam kuburan.
“Pak, memang siapa yang meninggal?”
“Oh, Bapak belum tahu? Ki Salim tadi habis sholat shubuh meninggal. Katanya sih kena serangan jantung.” 

Aku diam dan kaget bukan kepalang. Aku menahan nafas. Ternyata yang meninggal adalah Ki Salim. Seorang tua bijak yang memberikan petuah-petuah padaku, sehari yang lalu. Aku tak pernah menyangka bila pertemuanku dengan Ki Salim begitu singkat. Aku perlahan mendekat dengan kegundahan yang tak bisa kupahami. Aku masih ingat benar setiap nasihat yang Ki Salim berikan padaku, sehingga tak sadar aku pun menangis.
“Nak Madjid, saya senang bisa bertemu Anda. Saya lega kalau ternyata Nak Madjid hafal doa talkin. Itu sangat bermanfaat untuk mendoakan orang yang meninggal,” itu di antara obrolan dengan Ki Salim. Ia pun melanjutkan, “Talkin itu terutama sangat penting buat yang ikut melayat. Karena dari situlah semua bisa belajar, Nak.” Aku hanya bisa mengangguk tanda mengamini perkataan Ki Salim. Hidangan a la kadar dari istri Ki Salim menjadi teman kami mengobrol di ruang tamu sehari yang lalu.

Aku semakin mendekat ke prosesi pemakaman Ki Salim. Aku seperti ingin melihat wajah terakhir sosok guru yang meski singkat tapi sangat berkesan di hatiku ini. Apalagi pesan Ki Salim agar ketika dia meninggal, aku yang mesti membacakan doa talkin. Bagiku ini seperti wasiat. Maka saya berusaha mencari-cari keluarga terdekat dari Ki Salim. Usahaku ternyata cepat terlaksana. Aku menemukan adik dari almarhum setelah menanyakan ke salah seorang pelayat. Setelah aku menyampaikan amanat Ki Salim, adik Ki Salim yang wajahnya hampir mirip dengan Ki Salim itu pun merestuiku.

Kini tanah telah diratakan di atas pusara Ki Salim, tibalah aku harus membacakan doa. Sebelumnya adik Ki Salim memberikan pengumuman tentang amanat dari Ki Salim tentang pembacaan doa yang diamanatkan padaku. Tentu saja sebagian orang penasaran ingin melihat rupaku. Aku agak sedikit gerogi dan salah tingkah. Setelah dipersilahakan adik Ki Salim, yang juga salah seorang ahli waris, aku memulai membacakan talkin dengan bacaan basmalah. Tanpa sadar bacaan basmalah itu dibarengi dengan tetes air dari mataku. Bahkan aku tak merasa seringkali terisak ketika melewati deretan kalimat-kalimat doa yang menyatakan keimanan, amal salih dan cinta kasih. Aku benar-benar malu, seroang pembohong besar membacakan talkin di hadapan guruku ini. Tapi ini amanat! Aku mesti memenuhi harapan terakhir dari almarhum. Aku tak sadar bila semua yang hadir ikut larut dalam bacaan talkin yang aku pimpin. Terlebih ketika doa penutup mulai aku panjatkan,

“Ya, Allah. Kami semua bersaksi bahwa Ki Salim adalah hamba-Mu yang baik. Dia adalah seorang yang tulus, suka membantu sesama dan tak pernah menyakiti kami. Kalau pun ia pernah melakukan kekhilafan, kami semua di sini telah merelakan dan memaafkan almarhum..., Ya Allah, maka jadikan kuburan ini sebagai taman surga-Mu, kiranya almarhum adalah pribadi yang selalu berpegang pada tali-Mu, Ya Allah...”

Tiga tahun telah berlalu. Sepeninggal Ki Salim, aku bekerja di kuburan menggantikan Ki Salim. Ya, pekerjaanku kini adalah mendoakan orang yang dimakamkan di kuburan. Kantorku tiga tahun ke belakang adalah kuburan. Bukan KUA yang kotor itu. Tapi hanya aku yang tahu pekerjaan ini. Anak dan istriku sama sekali tak pernah tahu apa sesungguhnya pekerjaanku. Mereka hanya mengetahui kalau setiap pagi aku berangkat ke kantor. Dengan seragam safari, sepatu kulit dan peci hitam, tak ada satu pun yang curiga padaku. Aku hanya menambahkan sarung dan sorban di dalam tas kerjaku. Istriku pernah bertanya untuk apa aku mesti membawa sarung dan sorban. Aku berdalih kalau sarung dan sorban itu digunakan untuk shalat di musholla kantor. Ah, aku terus saja berbohong pada keluargaku.

Maka hari-hariku adalah kuburan, mayat, payung hitam, tikar anyaman rotan, sarung, dan sorban. Dengan jasa mendoakan orang yang meninggal itu, aku mendapat amplop yang lumayan cukup. Melalui pekerjaan aneh inilah aku dapat membiayai kuliah Halimah, anakku. Dia kini kuliah di sebuah univeritas Islam. Begitu juga Mukhlis yang kini telah duduk di bangku kelas dua SMP. Memang tak selalu besar, tapi setidaknya cukup aku gunakan untuk menabung. Dan ternyata bukan hanya aku yang menjalani profesi ini. Ada beberapa orang lain yang sama-sama menunggu kedatangan mayat. Maka wajar bila kadang di antara kami saling berebut untuk memanjatkan doa. Tapi aku selalu mengalah. Aku sangat percaya kalau Tuhan sudah menentukan rizki setiap hamba-Nya.

Pekerjaan ini memang menggelikan. Karena tentu saja tak setiap hari ada orang meninggal. Bahkan sekali waktu tak ada seroang pun yang meninggal dalam waktu seminggu, sebulan bahkan setengah tahun. Bila demikian adanya salah seorang dari kami kadang berseloroh, “Kok tumben ya, malaikat Izrail lagi malas mencabut nyawa orang.” Aku berusaha menghindari guyonan itu. Maka biasanya, di sela-sela menunggu mayat, aku gunakan untuk membaca Al-Quran atau menghafal Surat Yasin. Semua berlangsung setiap hari, tanpa diketahui oleh satupun dari keluargaku atau pun tetanggaku. “Oh, Tuhan. Apakah ini layak disebut sebagai pekerjaan? Lalu bagaimana dengan kebohongan yang aku jalani selama ini? Apakah aku layak untuk diampuni?” Itulah curahan hatiku yang selalu aku rasakan.

Sepeti biasa hari ini aku ngantor di kuburan. Tak terasa waktu zuhur telah tiba. Seiring kumandang azan, aku berjalan ke musholla yang tak jauh dari kuburan. Aku melihat beberapa orang sedang menggali kuburan. Itu petanda ada orang meninggal. Dadaku berdesir gembira. Aku cukup gembira karena hari ini para petugas doa yang lain tidak satu pun yang datang. Memang, kebanyakan dari mereka agak bermalas-malasan. Mereka menganggap minggu-minggu ini kematian lagi sepi. Aku menunaikan salat zuhur di musholla yang tak jauh kuburan. Setelah aku kembali berjalan ke arah kuburan aku dikejutkan oleh lelaki paruh baya yang menyapaku. Aku sudah bisa menebak apa kiranya tujuan lelaki ini.

“Assalaamu’alaikum, maaf bapak yang bertugas membacakan doa di kuburan ini, kan?”
“Iya, benar.” Saya menangguk dan mencoba menampilkan wajah yang sedemikian rupa. Karena aku tak boleh tersenyum meski itu rizki buat saya. Justru aku harus berpura-pura sedih karena mendengar berita kematian, meski dari orang yang tidak aku kenal.
“Tolong, ya Pak. Nanti bapak saja yang mendoakan. Mayatnya sedang menuju kemari dengan ambulance.” Si lelaki menyampaikan kabar dengan agak tergopoh. Dengan tenang aku menyampaikan beberapa hal.
“Kalau boleh tahu namanya siapa, bin siapa, biar nanti saya catat. Biar lebih afdhol doanya.” Aku mencoba meyakinkan sambil mengeluarkan buku saku dan pulpen.
“Anu, namanya Marzuki Bin Bukhori. Dia masih lajang. Tadi pagi dia kecelakaan waktu mau berangkat kuliah.” Si Lelaki yang masih kerabat dengan orang yang meninggal itu mencoba menjelaskan kepadaku. Aku pun mengangguk berusaha memahami keadaan yang sedang terjadi sambil mencatat nama almarhum. 

Kami berjalan bersama menuju tanah yang hampir usai digali. Tampak beberapa orang sedang menggali dan merapikan tanah. Sebagian yang lain sedang menyiapkan batu nisan. Tak lama berselang, terdengar raung sirene ambulance. Oh, rupanya jenazah sudah tiba. Beberapa pelayat datang. Rata-rata dari mereka berpakaian hitam dan berkacama hitam. Dari cara berpakaian terlihat mereka dari keluarga cukup berada. Aku pun sudah membayangkan amplop yang bakal aku terima. Aku sedikit tersenyum di antara duka yang menyelimuti pekuburan. Tapi rata-rata dari mereka adalah anak-anak muda. Oh, mungkin saja kawan almarhum dari kampus. Demikian kira-kira aku mencoba menerka. Sebagian pelayat sudah menunggu di sekitar pemakaman. Semantara aku masih berdiri menyambut kedatangan jenazah. 

Ketika jenazah datang, para pelayat semakin banyak saja berdatangan. Di antara pelayat yang datang itu aku melihat sosok yang tidak bisa aku percaya ikut juga melayat. Dia datang bersama para pelayat yang lain. Sosok itu benar-benar sangat aku kenal. Ya, dia adalah Halimah, anakku. Apakah almarhum yang meninggal ini adalah teman kuliah anakku, Halimah? Aku diburu sejuta tanya. Aku menjadi gugup. Rasanya aku ingin berlari dan bersembunyi saja dari semua kerumunan ini. Tapi bagaimana bisa, aku sudah di tengah kerumunan para pelayat. Dan aku adalah orang yang didaulat oleh keluarga almarhum untuk membacakan doa.
“Oh, Tuhan. Semoga saja anakku tak akan tahu kalau yang membacakan doa di kuburan ini adalah aku, ayahnya...” aku tertunduk dan benar-benar tak mau mengangkat kepalaku. Aku merasa benar bahwa anakku ikut berada di lingkaran para pelayat, tapi entah di sebelah mana. Aku tak sanggup untuk menengok apalagi mencoba mencari-cari di mana posisinya.

“Aduh, apakah anakku mengenal sarung dan sorban yang aku pakai ini, ya? Ah tentu banyak orang yang punya sarung dan sorban seperti ini,” aku bergumam berusaha menghibur diriku sendiri. Sampai kemudian salah seorang keluarga almarhum menyilakan aku untuk segera mulai membacakan doa. Dengan menarik nafas dalam-dalam aku mulai membacakan doa talkin seperti biasa. Tapi perasaan ku kali ini tidak seperti biasa. Persis seperti ketika aku baru mulai pekerjaan ini, merasa diawasi. Tapi kali ini bukan lagi merasa diawasi, tapi memang benar-benar disaksikan oleh orang yang sangat mengenaliku. Dan dia adalah anakku. Selama doa talkin kupanjatkan aku tak berani mengangkat kepalaku. Aku berusaha menyembunyikan wajahku. Tapi aku tak mampu menyembunyikan suaraku yang tentu sangat dikenal anakku. Setiap malam kami shalat maghrib berjamaah, maka tentu ia sangat hafal dengan suaraku. Oh, aku semakin gelisah dan tak karuan.

Doa pun usai aku bacakan. Beberapa pelayat mulai meninggalkan pusara. Hanya beberapa keluarga yang masih duduk-duduk di sekitar pusara almarhum. Sementara itu, aku masih berharap agar anakku segera meninggalkan kuburan ini. Tak lama berselang, tanganku disalami oleh seorang lelaki yang sebelumnya memintaku membacakan doa. Dari genggaman tangannya ia melepaskan sebuah amplop putih yang cukup tebal. Aku sudah tak lagi menghiraukan tebalnya amlop atau berapa pun isinya. Aku hanya berharap agar anakku Halimah segera pergi. Angin seperti berhembus sangat pelan. Membuat kuburan yang teduh dipenuhi pohon kamboja begitu terasa sepi. Aku masih terus menunduk di depan pusara. Sambil pura-pura membacakan doa, aku terus saja menunduk. Kini aku benar-benar yakin bila semua pelayat telah pergi. Aku cukup lega. Perlahan aku mencoba mengangkat kepalaku. Ya, memang telah sepi. 

Aku perlahan berdiri setelah mehanan rasa kesemutan yang menyerang kaki sejak tadi. Aku agak sedikit lega karena ketakutanku tadi telah sirna. Aku membuang nafas dengan keras. Ketika tubuhku berbalik, aku langsung lemas tiada kepalang. Ternyata Halimah sedari tadi ada di belakangku dan kini persis berada di hadapanku. Aku dan Halimah hanya berjarak satu langkah saja. Aku ingin sekali tersenyum, tapi aku tak kuasa. Mataku ingin sekali kubuka dengan penuh, tapi aku malah meneteskan air mata. Mataku terus berkedip agar air mataku tak benar-benar mengalir. Halimah masih bergeming, sementara aku tak bisa berkata apa-apa,

“Halimah, maafkan ayah...” dengan terbata aku mengangguk meminta pengertian dari Halimah, anakku. Anakku tak langsung menjawab. Ia segera berlari dan merangkul memelukku erat. Aku pun membalas erat pelukan anakku. Halimah menangis di dadaku. Aku tak berani memperlihatkan wajahku padanya, aku hanya bisa mengelus kepalanya,
“Maafkan ayah, kalau selama ini...” dengan isak tangis aku ingin sekali menjelaskan kepada anakku, tapi anakku menyergah dan memotong penjelasanku,
“Sudahlah, ayah. Ayah tidak bersalah. Halimah bangga pada ayah. Ayah tetap berjuang mempertahankan kami. Kami justru yang tak pernah peduli dengan pekerjaan ayah. Tapi kenapa ayang tidak cerita kepada Halimah? Kepada Ibu juga kepada Mukhlis?” Aku tak bisa menjawab serbuan pertanyaan Halimah. Aku hanya bisa terus memeluk Halimah. Pertemuan anak dan ayah, sang pembohong besar disaksikan para mayat yang tengah istirahat panjang di dalam kuburan.

“Ayah, mari kita pulang...”
Halimah mengajakku pulang setelah menyalami dan mencium tanganku.

***


Kelapaduawetan, 2 Mei 2010
14:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar