26/01/11

SELAMAT DATANG IBU MUS...

Sekitar satu jam lalu, Nasution menelpon. Dengan penuh semangat ia berencana mengundang Ibu Mus, salah satu guru yang menjadi tokoh penting dalam novel Laskar Pelangi. Rencananya, Ibu Mus akan diundang untuk berbagi pengalaman dengan para guru sekolah di Pesantren Al-Inayah, Pamulang.

Hampir satu jam lebih kami ngobrol lewat pesawat telepon. Tentu saja saya merasa tersanjung karena saya diajak ngobrol tentang satu hal yang saya sendiri tidak becus menjalaninya. Saya semakin bangga setelah saya mengetahui, kawan yang akran disapa Tion ini sekarang mengabdi sebagai seorang guru.

Saya selalu bangga dan hormat kepada manusia yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi seorang guru. Saya tak lupa menyampaikan terima kasih padanya. Dia bercerita tentang siswa yang malas belajar, menderita ketika belajar, tertekan ketika belajar. Sementara ketika bel istirahat dibunyikan, atau libur diumumkan semua merasa gembira. Kawan saya ini bukan hanya baik dan peka, tapi juga sangat cerdas. Dia mencoba membalik paradigma di atas. Dia berjuang bagaimana anak menjadi senang dan menikmati belajar. Maka ia ciptakan suasana bermain dalam bingkai kasih sayang dan perhatian.

Nah, satu kata perhatian ini yang sering diabaikan. Ternyata murid-murid hanya ingin diperhatikan. Maka dengan canggihnya, kawan saya yang punya toko buku Gerak-gerik ini meminta kepada semua siswa untuk mempunyai buku diary masing-masing. “Kalian tak perlu takut, kalian tulis apa saja yang kalian suka. Jangan khawatir kalian takut salah! Tulislah apa saja setiap hari, dan tulislah dengan hatimu,” demikian kira-kira anjuran Tion kepada murid-muridnya.

Tak lama berselang, kawan saya ini kaget bukan kepalang setelah membaca satu persatu buku harian mereka. Ada  yang menulis, bahwa selama ini guru-guru hanya sayang kepada yang pintar saja. Sementara si upik, yang bodoh, tak pernah diperhatikan. Atau ada yang menulis betapa mereka di rumah sibuk dengan pekerjaan untuk membantu ayah atau ibunya bekerja, sehingga tak punya waktu untuk membuat PR. Semua persoalan itu ternyata tak pernah tersentuh dan diketahui para guru.

Selama ini para guru hanya berfikir, “Kalian datang ke sekolah harus semangat! Tak peduli kalian di rumah makan apa, sibuk apa, atau mungkin tidur atau tidak!” dan ketika muncul anak bodoh  atau mungkin anak nakal, dengan enak guru akan berkata, “Maaf, saya tidak bisa mengajar anak-anak yang nakal! Anak yang nakal harus keluar dari sekolah. Tempat kalian bukan di sini!” Maka si guru cuci tangan. Ia tak mau peduli dengan anak badung atau anak yang “nakal”. Inikah pendidikan kita?

“Tunggu saja, biar nanti saya akan jadi bajingan sekalian,” demikian kira-kira gumam anak badung yang diabaikan oleh gurunnya itu. Maka jadilah bajingan-bajingan yang sesungguhnya kita sendiri yang menciptakannya.

Di lain pihak, para guru selalu mengeluh dengan keadaan dan fasilitas sekolah yang terbatas. Ya, minimnya fasiltas sekolah selalu menjadi alasan sekaligus hambatan dalam proses belajar mengajar. Ini adalah pelajaran manja yang sangat mengkhawatrikan. Lihat saja para pendahulu kita.  Sebut saja mereka yang mengenyam pendidikan tua di nusantara, dipastikan dilalui dengan fasiltas dan kondisi yang mencekam. Tapi lihatlah hasil mereka. Sebut saja Bung Hatta, Bung Karno, Tan Malaka, Hasyim As’ari, atau mungkin Ki Hajar Dewantara. Semua dalam kondisi yang sangat terbatas. Lalu kita mungkin ingat kisah Laskar Pelangi, dimana sekolah yang sangat minim itu kemudian bisa menghasilkan sosok penulis besar semecam Andrea Hirata.

Inilah obrolan pagi dengan kawan saya itu lewat telepon. Ujung-ujungnya, kami sepakat. Pendidikan yang sekarang berlangsung sangat kering dari cinta kasih. Pendidikan yang selama ini digemborkan adalah bagaimana menciptakan mewahnya fasilitas dan fasilitas. Padahal ada satu bagian yang tidak disentuh oleh para pendidik kita. Tentu saja hati mereka. Sebagai pengajar kita seringkali meremehkan keadaan perasaan mereka. Bagaimana guru akan mengajar dengan cinta dan kasih sayang, bila ketika ia keluar rumah menuju sekolah, ia sduah memulai dengan menebarkan semangat kebencian, dengan semangat kepentingan keuntungan material, dengan semangat karir semata, dengan semangat pengembangan diri semata. Lalu?

Murid (arooda yuridu), adalah para pemimpi! Mereka adalah anak-anak Tuhan yang ingin diladeni untuk memenuhi harapan-harapannya. Jangan-jangan, kita adalah para pembunuh harapan anak-anak kita sendiri. Kita mengajari anak-anak kita bicara, tapi ketika anak-anak kita pandai bicara, kita anggap mereka berisik. Kalau mereka bicara benar, kita anggap mereka melawan! kita mengajari anak-anak kita bisa menulis, tapi keteka mereka menulis kebenaran, kita marah! Inikah pendidikan kita?

Saya jadi ingat Jackie Chan. Dalam film Karate Kid, dia pernah bilang, “Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanya guru yang bodoh!” Selamat datang Ibu Mus. Kepada murid-murid Pesantren Al-Inayah, salam hangat selalu untuk kalian. Semangat dan terus bangkit! Bangun dan sadarilah Keagungan-Nya…kami selalu mendampingi kalian.

Salam Takzim untuk kehormatan para guru yang tulus
26 Januari 2011

Wong dzolim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar