03/03/11

Lubang Gelap

Seorang kakek tua. Tengah merebus air di atas tungku. Kakek itu bernama Sadra. Tubuhnya kurus dan membungkuk. Meski urat ototnya terlihat lusuh namun tangan-tangannya masih terlihat sigap memasukan kayu-kayu bakar ke dalam perapian tungku.

Ki Sadra adalah kakek tua yang berpuluh-puluh tahun telah tinggal di gubuk itu. Setelah kematian istrinya di sebuah kota, Sadra mengasingkan diri di sebuah bukit terpencil. Setiap harinya dia hanya mencari kayu bakar untuk keperluan memasak. Lahan subur di belakang gubuknya ia tanami jagung, singkong, dan sayur-sayuran. Bila panen tiba, ia menjualnya ke kampung untuk digantikan dengan beras dan minyak tanah untuk menyalakan lampu teploknya.


Menurut kebanyakan orang-orang di desa, ketika masih muda Ki Sadra ini adalah seorang pengemis. Ia mengemis bersama istrinya di ujung jembatan kecamatan. Atau bila hari Jumat, dia pindah tempat mengemis di sebuah masjid kota. Tak ada kabar pasti tentang siapa istrinya. Tapi  menurut orang-orang, anak satu-satunya yang telah sukses di kota justru telah mencampakkan Sadra dan istrinya.

Sebenarnya Sadra bisa saja bekerja melakukan apa saja. Tetapi semua penduduk desa tak ada yang mau menerimanya. Itu semua terjadi hanya karena anak Sadra yang kejam itu telah merampok rumah pak haji Salim yang terkenal alim dan saleh. Akibatnya semua penduduk kampung membenci anak itu sekaligus seluruh keluarganya. Dan sekarang entah di mana keberadaan anak Sadra, tak ada yang tahu.

Mungkin apa yang dilakukan anak Sadra dapat dimaafkan masyarakat desa. Namun apa yang dilakukan istrinya, adalah aib yang tak bisa diampuni oleh masyarakat atau bahkan Tuhan sekalipun. Istri Sadra yang ketika mudanya dikenal cantik dan pintar ini adalah seorang pelacur. Dan yang menbuat orang-orang tak habis pikir adalah Sadra, suaminya, yang tak juga menghentikan kebejatan istrinya. Sadra benar-benar setia pada istrinya. Dan Sadra pun mengakui bahwa kehidupannya telah banyak dibantu oleh istrinya yang melacur. Sadra benar-benar tak kuasa.

Kepedihan Sadra kian tercabik ketika istrinya jatuh sakit, dan didapati terkena penyakit kelamin. Semua orang semakin geram dan terus menjauhi Sadra. Semua orang meyakini bahwa penyakit itu bukan saja diderita istrinya tapi telah menular juga kepada suaminya, Sadra. Hingga tibalah ketika istrinya meninggal, Sadra benar-benar sendiri. Kesendirian mungkin akan terobati. Namun yang dialami Sadra bukanlah sekedar kesendirian, tetapi keterasingan.

Agaknya kehidupan yang dialami Sadra adalah kesusahan demi kesusahan. Tak pernah kebahagiaan menghampiri dirinya. Namun, meski kesabaran dan kesahajaannya terpancar dari dirinya, tidak membuat penduduk kampung simpati apalagi bersedia menolongnya. Itulah kenapa Sadra memutuskan mengasingkan diri di tengah bukit.
***

Sore, hujan hampir reda. Sisa-sisa rintik hujan masih terasa menikam kedua lenganku yang telanjang. Aku masih membiarkan kaki lelah ini melangkah. Sementara, baju putih kuyup ini benar-benar telah melekat rapat dengan tubuhku. Aku kedinginan.
“Hujan telah reda, tapi percuma, tubuhku telah basah kuyup begini.” Aku menyalahkan diriku yang tak kuasa menghentikan langkahku. Dan untuk apa berhenti, karena ke mana pun aku melangkah, yang terlihat hanya hamparan ilalang yang menjulang tinggi. Tak ada pohon besar yang dapat kugunakan berteduh, apalagi rumah.
“Ah, matahari hampir tenggelam. Padahal aku belum menemukan adikku.” 
Kuterus melangkah. Ketika hujan benar-benar telah reda aku baru merasakan kedinginan yang amat sangat. Kurasakan semua tubuhku lemas. Apalagi sejak pagi, perutku belum terisi apa-apa. Sepertinya langkah-langkahku kian terseok, dan tiba-tiba, “Bruk!”

***

“Syukurlah Kamu selamat, Nak,” seorang lelaki tua yang tidak aku kenal siapa sebenarnya menyapa sambil memegang tubuhku.
Aku tak menjawab. Tubuhku terbaring lemas di atas dipan kayu.
“Tempat apa ini?,” pikirku.
“Kek, aku di mana ini?” aku memberanikan diri bertanya, meski suaraku hanya terdengar lirih.
“Kamu tadi jatuh, Nak...”
“Kebetulan kakek pulang setelah mencari kodok sawah di balik bukit. Lalu kakek temukan Nak ini terkapar di tengah ilalang itu.” Si kakek mencoba menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dengan diriku.
Si kakek sejenak berdiri dan menggapai sebuah gelas besar lalu kembali menghampiriku.
“Nak, minumlah teh ini. Semoga Kamu akan lebih baik.” Dia menyodorkan gelas besar itu padaku, aku meraihnya sambil mencoba untuk duduk. Dan dengan penuh perhatian si kakek membantu menopang punggungku dengan tangannya yang lain.
“Awas hati-hati, panas.”
“Iya Kek.” Aku meminumnya perlahan.
Meski panas, tapi aku merasakan kehangatan mengalir dalam tubuhku. Bahkan aku merasakan alirannya dari mulut, kerongkongan, hingga perutku. Aku benar-benar kehausan.
“Siapa Kamu, Nak?”
“Dari mana asalmu?”
“Sedang apa kamu datang ke mari?”
Aku terdiam, seperti belum siap menjawabnya. Sementara, kedua telapak tangan kurekatkan pada gelas, sehingga tanganku terasa hangat.
“Aku Wirya, Kek. Aku dari Desa Pakijangan. Aku sedang mencari adikku yang hilang, dia bernama Wayanara.

Kami akhirnya sama-sama duduk berhadapan. Aku duduk di atas dipan kayu itu, dan kakek duduk di atas bangku yang ia letakkan persis di hadapanku. Ia pun tengah menggenggam segelas teh panas.
“Memangnya ada apa, kenapa kamu harus mencarinya ke mari?”
“Apakah kamu tidak tahu bahwa di sekitar sini tak ada orang yang tinggal?” Si kakek bertanya sambil sesekali menyalakan tembakaunya yang berkali-kali mati. Ketika aku tengah memperhatikan kakek tua itu menyalakan tembakaunya, terlintas di pikiranku untuk mengucapkan terima kasih. Namun tiba-tiba pikiranku lenyap ketika bayangan wajah adikku melintas. Aku terpejam.
“Wayanara....di mana kamu?”
“Apakah adikmu itu benar-benar telah ke mari?”
“Betul, Kek. Dia tersesat.”
“Tersesat?! Kapan?” Kakek seperti tidak percaya.
“Iya adikku tersesat di bukit ini. Dan itu dua Minggu yang lalu.”
“Bagaimana ceritanya, adikmu bisa tersesat kemari.”
Aku terdiam lama. Aku tidak ingin menceritakan hal ini kepada siapa pun. Tapi, kakek ini benar-benar telah menolongku, bahkan mungkin menolong nyawaku.
“Sebenarnya Kek,...aku dan adikku....”
“Ada apa antara kamu dan adikmu itu?”
“Kami bertengkar, Kek.”
“Bertengkar?.” Si kakek kembali melemparkan ketidakpercayaannya.
“Iya, kami bertengkar.” Aku tertunduk.
Si Kakek mendekat, dan duduk bersebelahan dengan diriku.
“Siapa tadi namamu,....”
“Wirya.”
“Oh iya, Wirya. Begini Wirya, kalau Kamu mau bercerita tentang adikmu, aku akan mendengarkan. Tapi kalau Kamu tidak mau. Aku tak memaksa.” Si kakek berkata dengan bijak.
Aku terdiam.
“Kek, adikku sakit.”
“Sakit?”
“Iya, dia sakit. Dan kami sekeluarga mengusirnya.”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar